A. Pengertian Kesetaraan Gender
Dalam memahami kajian kesetaraan gender, seseorang harus mengetahui
terlebih dahulu perbedaan antara gender dengan seks ( jenis kelamin ).
Kurangnya pemahaman tentang pengertian Gender menjadi salah satu penyebab dalam
pertentangan menerima suatu analisis gender di suatu persoalan ketidakadilan
social.
Hungu (2007) mengatakan “seks ( jenis kelamin ) merupakan perbedaan antara
perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir. Seks ( jenis
kelamin ) berkaitan dengan tubuh laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki
memproduksikan sperma, sementara perempuan menghasilkan sel telur dan secara
biologis mampu untuk menstruasi, hamil dan menyusui. Perbedaan biologis dan
fungsi biologis laki-laki dan perempuan tidak dapat dipertukarkan diantara
keduanya…..”.
Sedangkan secara etimologis, gender memiliki arti sebagai perbedaan jenis
kelamin yang diciptakan oleh seseorang itu sendiri melalui proses social budaya
yang panjang. perbedaan perilaku antara laki – laki dengan perempuan selain
disebabkan oleh factor biologis juga factor proses social dan cultural. oleh
sebab itu gender dapat berubah – ubah dari tempat ke tempat, waktu ke waktu,
bahkan antar kelas social ekonomi masyarakat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan perbedaan antara jenis kelamin dengan
gender yaitu, jenis kelamin lebih condong terhadap fisik seseorang sedangkan
gender lebih condong terhadap tingkah lakunya. selain itu jenis kelamin
merupakan status yang melekat / bawaan sedangkan gender merupakan status yang
diperoleh / diperoleh. Gender tidak bersifat biologis, melainkan
dikontruksikan secara sosial. Karena gender tidak dibawa sejak lahir, melainkan
dipelajari melalui sosialisasi, oleh sebab itu gender dapat berubah.
Setelah mengetahui perbedaan jenis kelamin dengan gender, maka langkah
selanjutnya yaitu kita dapat memahami pengertian “Kesetaraan Gender”.
Kesetaraan Gender merupakan kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk
memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya,
pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan
dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi
penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki
maupun perempuan.
kesetaraan gender memiliki kaitan dengan keadilan gender. keadilan gender
merupakan suatu proses dan perlakuan adil terhadap laki – laki dan perempuan.
terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya
diskriminasi baik terhadap laki – laki maupun perempuan. sehingga denga hal ini
setiap orang memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan control atas
pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan
tersebut.
Memiliki akses di atas mempunyai tafsiran yaitu setiap orang mempunyai
peluang / kesempatan dalam memperoleh akses yang adil dan setara terhadap
sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara
penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki partisipasi berarti
mempunyai kesempatan untuk berkreasi / ikut andil dalam pembangunan nasional.
Sedangkan memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan untuk mengambil
keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga memperoleh manfaat
yang sama dari pembangunan.
B. Kesetaraan Gender di Indonesia dalam
Bermasyarakat
Perbedaan gender terkadang dapat menimbulkan suatu ketidakadilan terhadap
kaum laki – laki dan terutama kaum perempuan. Ketidakadilan gender dapat
termanifestasi dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni :
a. Marginalisasi Perempuan
Salah satu bentuk ketidakadilan terhadap gender yaitu marginalisasi
perempuan. Marginalisasi perempuan ( penyingkiran / pemiskinan ) kerap terjadi
di lingkungan sekitar. Nampak contohnya yaitu banyak pekerja perempuan yang
tersingkir dan menjadi miskin akibat dari program pembangunan seperti
internsifikasi pertanian yang hanya memfokuskan petani laki-laki. Perempuan
dipinggirkan dari berbagai jenis kegiatan pertanian dan industri yang lebih
memerlukan keterampilan yang biasanya lebih banyak dimiliki laki-laki, dan
perkembangan teknologi telah menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara
manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang umumnya dikerjakan oleh
tenaga laki-laki. Dengan hal ini banyak sekali kaum pria yang beranggapan bahwa
perempuan hanya mempunyai tugas di sekitar rumah saja.
b. Subordinasi
Selain Marginalisasi, terdapat juga bentuk keadilan yang berupa
subordinasi. Subordinasi memiliki pengertian yaitu keyakinan bahwa salah satu
jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibandingkan jenis
kelamin lainnya. Sudah sejak dahulu terdapat pandanganyang menempatkan
kedudukan dan peran perempuan yang lebih rendah dari laki – laki. Salah
satu contohnya yaitu perempuan di anggap makhluk yang lemah, sehingga sering
sekali kaum adam bersikap seolah – olah berkuasa (wanita tidak mampu
mengalahkan kehebatan laki – laki). Kadang kala kaum pria beranggapan bahwa
ruang lingkup pekerjaan kaum wanita hanyalah disekitar rumah. Dengan pandangan
seperti itu, maka sama halnya dengan tidak memberikan kaum perempuan untuk
mengapresiasikan pikirannya di luar rumah.
c. Pandangan stereotype
Setereotype dimaksud adalah citra baku tentang individu atau kelompok yang
tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negatif secara umum
selalu melahirkan ketidakadilan.Salah satu stereotipe yang berkembang
berdasarkan pengertian gender, yakni terjadi terhadap salah satu jenis kelamin,
(perempuan), Hal ini mengakibatkan terjadinya diskriminasi dan berbagai
ketidakadilan yang merugikan kaum perempuan. Misalnya pandangan terhadap
perempuan yang tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan
dengan pekerjaan domistik atau kerumahtanggaan. Hal ini tidak hanya terjadi
dalam lingkup rumah tangga tetapi juga terjadi di tempat kerja dan masyaraklat,
bahkan di tingkat pemerintah dan negara.
Apabila seorang laki-laki marah, ia dianggap tegas, tetapi bila perempuan
marah atau tersinggung dianggap emosional dan tidak dapat menahan diri. Standar
nilai terhadap perilaku perempuan dan laki-laki berbeda, namun standar nilai
tersebut banyak menghakimi dan merugikan perempuan. Label kaum perempuan
sebagai “ibu rumah tangga” merugikan, jika hendak aktif dalam “kegiatan
laki-laki” seperti berpolitik, bisnis atau birokrat. Sementara label laki-laki
sebagai pencari nafkah utama, (breadwinner) mengakibatkan apa saja yang
dihasilkan oleh perempuan dianggap sebagai sambilan atau tambahan dan cenderung
tidak diperhitungkan.
d. Beban Ganda
Bentuk lain dari diskriminasi dan ketidakadilan gender adalah beban ganda
yang harus dilakukan oleh salah satu jenis kalamin tertentu secara berlebihan.
Dalam suatu rumah tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan
laki-laki, dan beberapa dilakukan oleh perempuan. Berbagai observasi,
menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga.
Sehingga bagi mereka yang bekerja, selain bekerja di tempat kerja juga masih
harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Dalam proses pembangunan,
kenyataannya perempuan sebagai sumber daya insani masih mendapat pembedan
perlakuan, terutama bila bergerak dalam bidang publik. Dirasakan banyak
ketimpangan, meskipun ada juga ketimpangan yang dialami kaum laki-laki di satu
sisi.
Kesetaraan gender di Indonesia masih dalam konteks perlindungan hak
ketenagakerjaan serta upah yang sepadan, tampaknya kita perlu menilik kembali
peran pemerintah terhadap para pahlawan devisa, khususnya para kaum perempuan.
Mereka adalah pihak yang memliki suara paling kecil untuk didengar oleh
pemerintah maupun penegak hukum, sebab posisinya yang seolah tak memiliki hak
yang sama untuk dilindungi secara penuh oleh kenegaraan.
Masih banyak TKW Indonesia yang hak-haknya belum sepenuhnya terlindungi
oleh negara. Masih marak pula terjadi kasus yang tak terselesaikan sebab
insignifikansi pemerintah (pemerintah mengganggap masalah ini tidak
penting) tentang hal ini. Lucunya, kasus TKW seringkali hanya disambut dengan
komentar ringan berupa ‘pemerintah belum dapat melindungi hak-hak umum para
TKW, serta belum dapat mengawasi seluruhnya kasus tentang pemerkosaan yang
marak terjadi’.
Ini menyangkut soal hak; yang berarti pula akan menjadi masalah yang
memberatkan atau bahkan menyulitkan Indonesia di kemudia hari jika tak segera
diselesaikan dengan aksi nyata. Apalagi TKW merupakan major labour yang
bertugas menopang satu dari beberapa pilar utama negara, lewat peran pentingnya
terhadap pasokan devisa. Sebab mereka kecil, tak berarti mereka menyumbang
peran yang kecil pula untuk negara.
Bisa jadi, dengan adanya aksi peningkatan perlindungan kepada TKW secara
nyata dan signifikan dari pemerintah akan memunculkan stabilitas ekonomi lebih
mumpuni, sehingga perannya untuk kesejahteraan negeri secara langsung juga akan
terasa besar. Pertanyaannya, apakah pemerintah bersedia? Sebuah renungan untuk
bangsa ini tentunya.
C. Kesetaraan Gender dalam Dunia Pendidikan
di Indonesia
Perempuan sesungguhnya membutuhkan pendidikan seperti halnya dengan laki –
laki. Akan terlihat jelas apabila dilihat dari sejarah masa lalu saat Indonesia
masih di jajah, Para penjajah kurang menghargai kaum perempuan. Mereka berlaku
sewenang – wenang sesuka hati terhadap kaum perempuan di Indonesia. Peristiwa
ini menggambarkan bahwa kesetaraan gender sama sekali belum ditegakkan. Dampak
dari peristiwa tersebut, pandangan – pandangan masyarakat sepeninggalnya yaitu
terdapat masyarakat yang beranggapan bahwa perempuan belum memiliki kesempatan
untuk berperan sentral diberbagai bidang seperti sekarang ini. Orang tua yang
memiliki pandangan seperti itu, akan menyekolahkan anak laki – lakinya setinggi
– tingginya sedangkan anak perempuan tidak harus bersekolah ke jenjang yang
lebih tinggi. Salah satu factor peristiwa tersebut yaitu orang tua hanya
beranggaoan bahwa peran perempuan dalam kehidupan tidak lain adalah sebagai ibu
rumah tangga yang tak perlu sekolah tinggi – tinggi. Namun saat ini
pemerintahan telah berupaya untuk menegakkan kesetaraan gender. Hal ini
terbukti dengan adanya program pemerataan pendidikan di seluruh Indonesia,
dengan hal ini banyak generasi penerus bangsa yang merupakan calon pembangunan
Negara ini mendapatkan mendapatkan kesempatan yang sama dalam mengenyam
pendidikan. Terlepas dari permasalahan pendidikan yang ada, namun dapat diakui
bahwa pandangan orang tua kolot masa lalu yang tidak menyekolahkan anak
perempuannya kini telah berubah. Terlihat bahwa pada saat sekarang kaum
perempuan pun banyak yang bersekolah hingga jenjang yang tinggi. Selain hak
untuk mendapatkan pendidikan, di Negara Indonesia sebenarnya telah menerapkan
kesetaraan gender dalam tatanan organisasi dari mulai organisasi yang kecil
hingga pemerintahan. Buktinya ialah perempuan pun memiliki peranan yang sama
dalam hal menduduki jabatan tertentu dalam suatu institusi. Presiden Negara
Indonesia yang pernah diduduki oleh seorang perempuan yaitu Megawati Soekarno
Putri merupakan bukti real-nya.
D. Pandangan Agama terhadap kesetaraan
Gender
a. Kesetaraan gender menurut agama muslim
Sejak 15 abad yang lalu Islam telah menghapuskan diskriminasi berdasarkan
jenis kelamin. Islam memberikan posisi yang tinggi kepada perempuan. Prinsip
kesetaraan dan keadilan gender dalam Islam tertuang dalam Kitab Suci Al-Quran.
Dalam ajaran Islam tidak dikenal adanya isu gender yang berdampak merugikan
perempuan. Islam bahkan menetapkan perempuan pada posisi yang terhormat,
mempunyai derajat, harkat, dan martabat yang sama dan setara dengan laki –
laki.
Islam memperkenalkan konsep relasi gender yang mengacu kepada
ayat – ayat Al-Qur’an. Suatu kenyataan, masih banyak masyarakat, tidak
terkecuali beberapa guru agama yang belum memahami makna qodrat, apabila
berbicara soal jenis kelamin perempuan, dikaitkan dengan upaya mewujudkan
keadilan dan kesetaraan gender. Salah satu akibat dari salah memahami alasan
untuk mempertahankan subordinasi, marginalisasi, dan diskriminasi terhadap
perempuan.
Al-Qur an sebagai “Hudan linnasi”, petunjuk bagi umat manusia, dan
kehadiran Nabi Muhammad Rasulullah SAW dengan sunnahnya, sebagai “Rahmatan lil
alamin”, tentu saja menolak anggapan di atas. Islam datang untuk membebaskan
manusia dari berbagai bentuk ketidak-adilan. Sejak awal dipromosikan, Islam
adalah agama pembebasan.
Islam adalah agama ketuhanan sekaligus agama kemanusiaan dan
kemasyarakatan. Dalam pandangan Islam, manusia mempunyai dua kapasitas, yaitu
sebagai hamba dan sebagai representasi Tuhan (khalifah) tanpa membedakan jenis
kelamin, etnik, dan warna kulit. Islam mengamanatkan manusia untuk
memperhatikan konsep keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan keutuhan, baik
sesama manusia maupun manusia dengan lingkungan alamnya.
b. Kesetaraan gender dari sudut pandang
agama khatolik
Permasalahan gender dalam Katolik tidak terlepas dari konteks tradisi dan
budaya, khususnya budaya agama Yahudi. Dalam agama Yahudi, laki-laki mempunyai
posisi yang lebih dominan dibandingkan dengan perempuan. Dominasi ini
menciptakan ketidakadilan gender. Ketika suatu perbuatan itu dilakukan oleh
laki-laki, maka dianggap sebagai suatu kebenaran. Begitu juga di Indonesia, ajaran
kristen tidak dapat terlepas dari budaya warga Indonesia. Dalam Kejadian 2 (Kejadian 2 (disingkat Kej 2) adalah bagian dari Kitab Kejadian dalam Alkitab Ibrani atau Perjanjian Lama di Alkitab Kristen.) Disebutkan bahwa Allah menciptakan manusia dari bumi. Manusia yang
pertama kali diciptakan adalah Adam. Kemudian dari tulang rusuk Adam
diciptakanlah Hawa. Kemudian disebutkan bahwa Adam jatuh ke dalam dosa karena
Hawa. Teks ini memunculkan pandangan bahwa perempuan adalah manusia kedua.
Perempuan juga dipandang sebagai sumber dosa. Gereja mengambil teks ini sebagai
dasar pandangan hubungan (relasi) antara laki-laki dengan perempuan. Hubungan
ini dipandang hanya berdasarkan jenis kelamin saja. Posisi subordinat (posisi
yang rendah) perempuan seperti inilah yang menjadi dasar pandangan awal gereja
mengenai perempuan.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan perkembangan zaman,
Gereja menolak ketidakadilan gender, baik dalam keluarga maupun dalam
masyarakat. Gereja memperhatikan dengan serius dasar-dasar ajaran agama, yaitu;
tradisi, teologi dan filsafat, kitab suci serta ajaran gereja dengan pastoral
lainnya.
1. Aspek Tradisi
Salah satu sumber ajaran iman dan moral Katolik adalah tradisi. Tradisi
gereja masih dipengaruhi oleh budaya yang bersifat patriarkhis (Budaya yang
menomor satukan laki – laki). Suami merupakan penguasa dalam keluarga. Wanita
diletakkan dalam posisi subordinat. Hal ini merupakan suatu bentuk
ketidakadilan gender yang mendasar. Namun Perjanjian Baru memandang bahwa
laki-laki dan perempuan adalah sama, sehingga dengan jelas Perjanjian Baru
menolak segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan hal tersebut
maka perlu diadakan perubahan penafsiran kitab suci, terutama Kitab Perjanjian
Lama.
2. Aspek Teologi (Ilmu tentang Ketuhanan)
dan Filsafat
Dalam Kristen, baik itu Katolik maupun Protestan, pencitraan Allah adalah
sebagai Bapak, sehingga muncul pandangan bahwa Allah adalah laki-laki. Hal ini
mengontruksikan suatu pemikiran bahwa laki-laki adalah penguasa dalam keluarga
sehingga sangat berpotensi menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga.
Sesungguhnya hubungan manusia dengan Allah adalah bersifat personal sehingga
Allah dapat mempersonifikasikan diri sebagai Bapak maupun sebagai Ibu.
3. Aspek Kitab Suci
Untuk memahami Kitab Suci perlu dipahami latar belakang penulis. Dalam
Kejadian 2 pasal 2 ayat (5) disebutkan bahwa perempuan merupakan manusia kedua,
perempuan sebagai penggoda. Teks normatif ini sangat berpotensi memunculkan
kekerasan dalam rumah tangga jika ditafsirkan secara salah. Padahal dalam
Kejadian 1 ayat (26) disbutkan bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan
sama secitra dengan Allah, keduanya adalah baik.
Dalam Kitab Perjanjian Lama, banyak ketentuan-ketentuan yang menempatkan
perempuan sebagai mahkluk kedua, dan diposisikan pada posisi yang sub ordinat.
Hal ini sangat berpotensi memunculkan kekerasan psikologis dalam
keluarga.Pencitraan perempuan yang cenderung terasa tidak adil gender ini
diperbaharui dan diformulasikan kembali dalam Kitab Perjanjian Baru. Dalam
Kitab Perjanjian Baru, perempuan mendapat posisi yang sejajar dengan laki-laki.
Yesus menempatkan perempuan pada posisi yang harus dihormati. Bahkan
karena dianggap terlalu memuliakan perempuan dan terlalu memperjuangkan perempuan
inilah kemudian Yesus ditangkap dan kemudian dihukum salib oleh penguasa pada
waktu itu yang memegang faham patriarkal.
4. Aspek Ajaran Gereja
Dalam pandangan Gereja Katolik, perempuan dianggap mempunyai martabat yang
sama dengan laki-laki. Mereka mempunyai hak untuk berperan dalam masyarakat.
Pengakuan kesejajaran antara laki-laki dan perempuan haruslah dihormati. Gereja
mengemukakan sikap keterbukaan dalam keluarga, sehingga interaksi dalam
keluarga muncul kesejajaran. Gereja Katolik dengan jelas bersikap tidak toleran
terhadap ketidakadilan, termasuk ketidakadilan gender yang berpotensi memicu
kekerasan dalam keluarga.
Dalam Katolik ada satu komisi yang melayani urusan keluarga yaitu pastoral
keluarga yang bertugas melakukan pendampingan keluarga, untuk menanggulangi
munculnya kekerasan dalam rumah tangga, termasuk perceraian. Dari hal tersebut
dapat disimpulkan bahwa Gereja Katolik menolak ketidakadilan gender. Tetapi
untuk mewujudkan keadilan gender dalam masyarakat masih terdapat hambatan yaitu
faktor tradisi patriarkhis.
c. Kesetaraan gender dari sudut pandang
agama Kristen
Alkitab mengatakan bahwa Allah menciptakan perempuan dan laki-laki menurut
gambar dan rupa Allah: “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya,
menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya
mereka” (Kej.1:27). Maksud dariungkapan ‘menurut gambar Allah’ dalam ayat
ini tidak dalam arti bahwa manusia itu sama hakekat dengan Sang Pencipta.
Ungkapan itu lebih berarti bahwa Allah menciptakan manusia sebagai makluk
mulia, kudus, dan berakal budi, sehingga manusia bisa berkomunikasi dengan
Allah, serta layak menerima mandat dari Allah untuk menjadi pemimpin bagi
segala makluk (Kej.1:28-30). Status se-“gambar” dengan Allah dimiliki tidak hanya
oleh laki-laki, tetapi juga oleh perempuan. Kedua pihak punya status yang sama.
Sebab itu tidak dibenarkan adanya diskriminasi atau dominasi dalam bentuk
apapun hanya karena perbedaan jenis kelamin.
Alkitab mencatat bahwa hubungan yang timpang antara laki-laki dan perempaun
itu terjadi setelah manusia memakan buah yang dilarang oleh Allah (Kej.
3:12dst). Adam mempersalahkan Hawa sebagai pembawa dosa, sedangkan Hawa
mempersalahkan ular sebagai penggoda. Tetapi akhirnya Allah menghukum Adam.
Adam dihukum bukan hanya karena Adam ikut-ikutan makan buah yang Allah larang,
tetapi juga karena ketika Hawa berdialog dengan ular sampai memetik buah, Adam
ada bersama Hawa. Adam hadir di sana tetapi ia bungkam. Dengan kata lain,
perbuatan Hawa sebenarnya mendapat restu dari Adam. Karena itu kesalahan ada
pada kedua pihak. Itu berarti bahwa Adam dan kaum laki-laki tidak bisa
menghakimi Hawa dan kaumnya sebagai pembawa dosa.
Dalam perkembangan selanjutnya peranan perempuan mulai dibatasi. Budaya
Yahudi tidak banyak memberikan peluang kepada perempuan untuk berkiprah. Ada
sejumlah tokoh perempuan yang muncul dalam sejarah Israel, tetapi peran mereka
sangat terbatas. Di antara mereka ada Miryam, saudara perempuan nabi Musa.
Miryam juga dipakai Allah sebagai nabiah. Ia dan Harun menegur Musa saat Musa
kawin lagi dengan perempuan Kush. Meskipun Miryam dan Harun bersama-sama
mengajukan protes namun Miryamlah yang mendapat hukuman. Terjadi semacam
diskriminasi hukum antara laki-laki dan perempuan (Bil. 12). Diskriminasi itu
juga terjadi ketika orang kawin. Dalam budaya Israel seorang suami bisa
mengambil istri lebih dari satu orang (polygamy). Tetapi seorang istri tidak
diperkenankan untuk mengambil suami lebih dari satu orang (poliyandry). Pada
saat seorang perempuan melahirkan anak juga terjadi diskriminasi. Jika
perempuan melahirkan anak laki-laki ia dianggap najis selama empat puluh hari.
Sedangkan jika yang lahir adalah anak perempuan, maka ibu anak itu dianggap
najis selama delapanpuluh hari (Imamat 12). Dua perempuan Israel yang dianggap
mujur yakni Deborah menjadi nabiah dan hakim di Israel dan Ester sebagai
permaisuri Raja Ahazweros (Hak. 4:4dst; Est 8).
Pada masa hidup Yesus, diskriminasi dan dominasi laki-laki atas perempuan
masih tetap berlangsung. Ketika Yesus mulai mengangkat tugas-Nya, Ia bersikap
menentang disriminasi dan dominasi itu. Suatu ketika pemimpin-pemimpin agama
Yahudi menangkap seorang perempuan yang kedapatan berzinah lalu dibawa kepada
Yesus. Mereka minta supaya perempuan ini dihukum rajam sesuai aturan Yahudi.
Tetapi Yesus tidak peduli terhadap permintaan mereka. Pasalnya, mereka
menangkap perempuan itu tapi tidak menangkap laki-laki yang tidur dengan dia.
Yesus berkata kepada mereka: “Barangsiapa yang tidak berdosa hendaknya ia yang
pertama kali merajam perempuan ini”. Tidak ada yang berani melakukannya.
Akhirnya Yesus menyuruh perempuan itu pulang dengan nasihat supaya tidak
berbuat dosa lagi (Yoh 8:2-11).
Dalam pelayanan-Nya, Yesus banyak menaruh perhatian kepada orang-orang yang
dianggap sebagai ‘sampah’ masyarakat, termasuk di dalamnya beberapa perempuan.
Salah satu di antaranya adalah Maria dari Magdala. Yesus menyembuhkan Maria
dari ikatan roh jahat. Kemudian Maria dan beberapa perempuan lain mengiring
Yesus dalam pelayanan-Nya (Luk 24:10). Lagi-lagi Yesus membela posisi perempuan
ketika sejumlah orang Farisi datang kepada-Nya dan bertanya:”Apakah seorang
suami bisa menceraikan istrinya dengan alasan apa saja?” Yesus menjawab mereka
kata-Nya: sejak semula perkawinan hanya terjadi antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan (Adam-Hawa). Perceraian hanya bisa terjadi jika salah satu di
antaranya berbuat zinah. Lalu orang-orang itu bertanya lagi: “Kalau begitu
mengapa Musa mengijinkan seorang suami membuat surat cerai (talak)”? Lalu Yesus
menjawab: karena ketegaran hatimulah Musa melakukan hal itu. Tapi seharusnya
tidak demikian (Mat 19:1-12). Karena komitment-Nya terhadap kesetaraan
perempuan dan laki-laki, maka pada saat Yesus mati di salib, banyak perempuan
ada bersama-sama dengan Dia serta mengunjungi kubur-Nya.
Perjuangan menentang diskriminasi dan menegakkan hak-hak perempuan tidak
berakhir pada saat Yesus terangkat ke langit. Perjuangan itu terus berlangsung
dari abad ke abad. Umumnya orang mengakui bahwa perjuangan yang cukup sengit
dimulai pada abad ke-18, terutama sesudah berakhirnya Revolusi Amerika
(1775-1783) dan Revolusi Perancis (1789-1799). Kedua revolusi itu berhasil
menanamkan nilai-nilai: kemerdekaan, kesetaraan, dan persaudaraan antara semua
penduduk. Momentum ini dipakai oleh kaum perempuan untuk menuntut kesamaan hak
dengan kaum lelaki. Selanjutnya pada tahun 1960-an terjadi gelombang protes
anti perang dan perjuangan hak-hak sipil yang terjadi di Amerika Utara, berikut
di Australia, dan di seluruh Eropah. Kesempatan itu dianggap tepat untuk
memperjuangkan kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Yang menarik
perhatian kita sekarang, bahwa gerakan memperjuangkan kesetaraan gender sudah
menjadi gerakan yang mendunia. Ia bukan hanya merupakan usaha dari kelompok
agama tertentu, tetapi sudah menjadi gerakan bangsa-bangsa atas alasan
kemanusiaan dan keadilan gender. Tentu kita mendukung semua perjuangan semacam
itu.
d. Kesetaraan gender dari sudut pandang
agama Budha
Dalam kehidupan bermasyarakat, sang budha tidak membedakan peran
laki-laki maupun perempuan. Mereka memliki peran yang setara dan adil. Seperti
laki-laki, perempuan juga bisa menjadi majikan, atasan, guru(brahmana) sesuai
kotbah sang Budha.
Mengacu pada perkembangan budha Dharma bahwa pemberdayaan dan kemitrasejajaranperempuan
telah diperjuangkan dan ditumbhkembangkan oleh sang Budha. Hal ini dapat dikaji
dari kisah-kisah siswa Budha yang sebagian adalah perempuan dan diterangkan
pula bahwaperempuan membawa peran penting dalam perkembangan agama Budha
Kesetaraan gender dalam agama Budha didasari kewajiban dan tanggungjawab
bersama dalam rumah tangga dan adanya kehendak bersama dalam menjalankan
kehidupan berumah tangga. Menurut agama Budha, manusia terdiri dari
laki-laki dan perempuan yang muncul bersama di muka bumi ini.dan dia dapat
terlahir sesuai dengan karmanya masing-masing, sehingga kedudukan antara
laki-laki maupun perempuan dalam agama budha tidak dipermasalahkan . agama
budha membimbing umatnya untuk menghargai gender.
Dalam Paninivana Sutta, sang Budha mengatakan seluruh umat manusia tanpa
tertinggal memilikijiwa Budha. Laki-laki dan perempuan memiliki tugas yang
agung, karenanya agar terjadi keseimbangan dalam menjalanjan fungsi
kehidupannya, maka keduanya memiliki karakter yang berlawanan, padahal justru
dari sinilah muncul keseimbangan.
e. Kesetaraan gender dari sudut pandang
agama Hindhu
Pengertian gender dalam agama Hindu merupakan hubungan sosial yang
membedakan perilaku antara perempuan secara proposional menyangkut moral,
etika, dan budaya, bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan diharapkan
untuk berperan dan bertindak sesuai ketentuan sosial, moral, etika, dan budaya
di mana mereka berada. Ada yang pantas dikerjakan oleh laki-laki ditinjau dari
sudut sosial, moral, dan budaya, tetapi tidak pantas dikerjakan oleh
perempuan,demikian pula sebaliknya.Sesuai ajaran agama hindu, gender bukan
merupakan perbedaan sosial antara laki-laki dan perempuan. agama hindu
mengajarkan bahwa seluruh umat manusia di perlakukan sama di hadapan tuhan
sesuai dengan dharma baktinya.
Manusia yang dilahirkan ke dunia merdeka dan mempunyai martabat serta hak
yang sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa, baik laki-laki maupun perempuan.
Istilah dewa-dewi lingga yoni dalam ajaran hindu menggambarkan bahwa
dualism ini sesungguhnya ada dan saling membutuhkan karena tuhan yang maha esa
menciptakan semua mahluk hidup selalu berpasangan.di dalam kitab suci hubungan
suami dan istri dalam ikatan perkawinan disebut sebagai satu jiwa dari dua
badan yang berbeda .
Lebih jauh di dalam manapadharmasastra di uraikan bahwa tuhan yang maha esa
menciptakan alam semesta beserta segala isinya dalam wujud
“ardha-nari-isvari”,sebagai sebagian laki-laki dan sebagian lagi sebagai
perempuan.
Source: