Ardiyanti Zia
Setelah
berusaha keras untuk membantu Badai, yang ternyata masih sadar, berdiri, aku
dan yang lainnya langsung menggebrak pintu dan masuk begitu saja. Tapi saat
itulah kami semua langsung tercengang dengan kedua bola mata membelalak lebar
dan mulut menganga.
Rasanya
aku mau nangis sekarang juga. Bagaimana bisa orang-orang yang ada di dalam
ruangan ini menghilang!? Bagaimana bisa ruangan ini kosong tanpa siapapun
tersisa?
“Kita
terlambat.” Awan berkata kelam. “Mereka sudah kabur.”
Saat
itu juga aku langsung menangis sekencang-kencangnya. Kami sudah susah payah
masuk ke dalam sini dan melawan begitu banyak anak buah Fabi. Tapi kenapa
hasilnya nihil? Kenapa kami masih saja tidak bisa menyelamatkan Sakura?
Sebuah
tangan mengelus-elus kepalaku. Aku menoleh dan mendapati Atha tersenyum
kepadaku.
“Kita
pasti menemukan Sakura kok!” ucapnya yakin.
Kulihat
Badai meminta bantuan Awan untuk membawanya melihat-lihat ke dalam ruangan
tersebut. Memerhatikan setiap detail yang ada. Mencari petunjuk di mana
keberadaan Sakura dan Prisil sekarang.
Aku
tahu Badai pasti cemas karena pacarnya sudah menghilang beberapa hari dan dia
malah membuat Sakura menjadi korbannya. Hanya untuk menyelamatkan pacarnya itu.
Sebenarnya
aku marah. Sudah jelas Badai mencampakkan Sakura, tapi dia malah membuat Sakura
melakukan segala hal yang ia inginkan. Aku bahkan tak mengerti jalan pikirnya.
Karena Badai selalu bisu dalam mengungkapkan kata-kata. Jadi aku tidak bisa
membaca pikirannya.
“Lo
benci banget sama Badai ya?”
Aku
menoleh. Menatap Atha dengan tatapan bingung.
“Muka
lo berubah bengis banget pas ngeliatin Badai.”
“Bengis!?”
Aku melotot. Lalu kupukul kepalanya dan dia langsung meringis kesakitan. Ups.
Aku lupa kalau kepalanya berdarah tadi. “Eh... maaf. Gue lupa. Sakit ya?” Aku
langsung mengelus-elus kepalanya.
Dia
tertawa. “Tuan Putri walaupun bengis tetep cantik kok.”
Uh-oh.
Barusan dia bilang aku apa? Cantik? Aku yakin sekarang wajahku memerah banget.
Sialan. Aku langsung memalingkan wajahku karena malu melihatnya.
“Jangan
salahin Badai.”
Aku
kembali menatapnya. “Apa maksudnya?”
“Lo
inget kan, yang nyuruh Badai menelfon Sakura itu Awan. Sebenarnya Badai nggak
mau.”
Oh
ya, aku lupa soal itu. Atha pernah menceritakannya padaku. Mungkin karena rasa
khawatirku terlalu besar pada Sakura, makanya aku malah membenci orang yang
mencampakkan perasaan Sakura juga.
“Hei,
itu punya Prisil, kan!?” seru Atha dengan suara besarnya.
Aku
langsung menoleh ke arah Badai dan Awan. Badai sedang menggenggam sebuah gelang
cantik berwarna biru safir. Gelang yang pernah kulihat saat Prisil latihan
drama di rumah Badai.
“Itu
tandanya Prisil juga ada di sini tadi.” Awan menatap gelang itu penuh tanya.
Sesaat
aku teringat seseorang dengan gelang. Aku langsung mengeluarkan sebuah gelang
berwarna perak dari saku jaketku.
“Gelang
itu...”
“Lo
tau siapa pemiliknya?” Aku langsung menatap Badai penuh harap.
Badai
terdiam. “Gue nggak bisa mengatakannya tanpa bukti.”
“Oh
ayolah, Badai!” Aku memohon. “Kita kan bukan polisi. Kita nggak akan menanyai
bukti kok.”
“Pemilik
gelang ini berinisial A.” Atha melipat kedua tangannya di depan dada. “Mungkin
lo bisa mengatakannya sekarang.”
Badai
berdeham. “Mungkin bukan gue yang harus mengatakan siapa pemilik gelang itu.
Tapi elo, Tha.”
Aku
melirik Atha. Atha terlihat kebingungan. Apa maksud Badai mengatakan itu?
“Lo
nggak bener-bener lupa kejadian lalu, kan?” Badai sepertinya baru menyadari
bahwa Atha melupakan hal tersebut.
“Apa
yang kalian lakukan di sini!?”
Kami
berempat langsung menoleh ke sumber suara. Ruth sedang menatap kami dengan raut
wajah panik.
“Sekarang
kalian harus kejar mobil yang mengangkut Sakura!!!”
“Prisil
juga ada di mobil itu?” tanya Atha.
Ruth
terdiam. “Gue nggak melihat orang lain.” Ruth mencoba mengingat-ingat. “Ada tiga
orang yang masuk ke dalam mobil itu. Lalu di belakangnya ada mobil yang
menyusul.”
“Prisil
pasti di salah satu mobil itu!” ketus Awan.
“Tapi
gue bener-bener nggak liat Prisil masuk ke salah satu mobil tersebut!” Ruth
berkata ngotot.
Badai
menghela nafas panjangnya. “Bagaimana bisa lo yakin bahwa Prisil nggak masuk ke
dalam salah satu mobil tersebut?”
“Karena
semua yang masuk ke dalam mobil itu memakai jubah hitam!” Ruth berkata kesal.
“Kecuali Sakura yang masih menggunakan seragamnya.”
“Pasti
Prisil menggunakan jubah hitam!” Awan menatap sinis Ruth.
“Tenang.”
Atha menjadi penengah. “Jika Prisil ada di sana, Prisil harusnya mendapat
perlakuan yang sama dengan Sakura. Diikat dan dipaksa masuk ke dalam mobil.”
“Tapi
gelang ini kan menunjukkan bahwa Prisil tadi ada di sini juga.” Aku berkata
bingung.
Baiklah.
Semuanya menjadi semakin rumit. Kapankah ini semua akan berakhir?
“Sekarang
yang penting kalian ngejar mobil itu. Mobil itu pergi lima menit yang lalu dan
sekarang kalian malah menyia-nyiakan waktu kalian!!!”
TING.
Tiba-tiba
terdengar suara ponsel berbunyi. Ah... itu suara ponsel Badai.
Kulihat
Badai mengambil ponsel dari saku celana jinsnya. Lalu raut wajahnya berubah
menjadi aneh. Dia mendongak dan tersenyum.
“Sakura
mengaktifkan GPS.” Badai berkata senang.
“Tunggu!”
Awan mengernyitkan keningnya. “Memangnya M nggak tahu kalau Sakura bawa ponsel?
Siapa tau M sedang mengelabui kita.”
Benar
juga kata Awan. Mana mungkin Sakura bisa mengaktifkan GPS di ponselnya dengan
tangan terikat dan tanpa ketahuan oleh Fabi?
Badai
menggeleng. “Bukan GPS dari ponselnya. Tapi GPS yang dibeli Sakura waktu dia
minta anterin gue ke tukang elektronik.”
“Ckckck...”
Atha geleng-geleng. “Meskipun kemaren-kemaren kalian berantem luar biasa,
kalian tetep pergi bareng ya...”
Aku
tertawa geli dan langsung menyikut Atha yang asal ngomong. Sementara Badai
terdiam dan malah membuang muka.
“Gue
kan cuma bantuin dia.”
“Iya
deh, percaya.” Atha menahan ketawanya sebelum meledak dan malah membuat Badai
malu setengah mati.
“Udah
deh. Sekarang kalian pergi kejar Sakura.” Ruth terdiam. “Dan Prisil,” ucapnya
ragu-ragu. “Gue minta satu orang buat nemenin gue pergi ke suatu tempat.”
Si
Manusia Badak dengan santainya langsung merangkulku. “Bukan gue. Gue nggak akan
mau terpisah dari Tuan Putri.”
Uh-oh
sialan banget si Manusia Badak. Perasaanku jadi aneh saat dia mengatakan itu.
Biasanya kalau dia berkata seperti itu, aku akan marah. Tapi sekarang, entah
kenapa, aku jadi merasa senang banget.
“Baiklah.
Jadi Badai atau... Awan?” Saat mengatakan nama Awan, Ruth sepertinya terpaksa
banget.
Sepertinya
kejadian adu bicara tadi membuat Ruth jadi kesal dengan Awan.
“Prisil
kan pacar Badai. Jadi Badai aja yang ikut kami.” Atha langsung menyeruakan
pendapatnya.
Dan
aku yakin sekali kalau ide itu akan ditolak mentah-mentah oleh Ruth dan Awan.
Pasalnya mereka kan seperti kucing dan tikus. Yah, setidaknya aku juga
diam-diam senang karena aku nggak perlu melihat adegan Awan nanti setelah
bertemu Prisil. Baiklah, aku masih sedikit suka dengan Awan. Sedikit saja loh.
Nggak banyak-banyak.
“Iya.
Gue juga setuju.” Aku langsung menyetujui pendapat Atha. Hitung-hitung aku jadi
punya kesempatan untuk tidak melihat wajah Awan lama-lama.
“Iya
deh. Emang kita mau pergi ke mana sih?”
Dan
Ruth langsung tersenyum misterius.
***
Ruth
dan Awan memutuskan untuk naik motor berdua sementara aku, Badai dan Atha
menuju lokasi Sakura sekarang menggunakan mobil Badai.
Aku
duduk di belakang. Setelah perdebatan tempat duduk, akhirnya Badai dengan
tegasnya mengatakan bahwa aku harus duduk di belakang.
Pasalnya,
si Manusia Badak ingin duduk berdua denganku. Otomatis Badai duduk di depan
sendiri. Badai langsung ngomel-ngomel dan mengatakan bahwa dia bukanlah supir.
Jadi aku berinisiatif untuk duduk di depan bersama Badai, tapi si Manusia Badak
itu malah melarangku dekat-dekat dengan Badai.
Konyol
sih. Tapi entah kenapa, aku merasa lebih hidup setelah bertemu orang-orang ini.
Oh
ya kondisi Badai sebenarnya parah banget. Tapi dia bersikeras untuk tetap
melanjutkan rencana karena menunda esok akan membuat semuanya menjadi
terlambat.
Kami
sempat ke apotek untuk membeli P3K. Tentu saja aku yang membelinya. Kalau Badai
dan Atha yang membelinya, orang-orang pasti mengira mereka adalah tersangka
pelaku kecelakaan yang kabur karena takut ditangkap polisi.
Aku
memasangkan perban dan obat merah ke kepala Atha. Sementara Badai lebih banyak
perban yang dia pakai. Sungguh malang.
“Eh,
tadi pembicaraan kita kepotong.” Atha memulai percakapan.
“Pembicaraan
yang mana?” tanya Badai dengan mata yang tetap fokus ke jalanan.
Atha
mendesah. “Tentang pemilik gelang berinisial A. Siapa dia? Kenapa elo bilang
begitu tadi?”
“Bilang
apa?”
Duh.
Kok aku jadi ikut geregetan sama si Badai ya. Aku akan juga penasaran dengan
apa yang dikatakan Badai tadi.
“Yang
mengenai kejadian lalu. Gue nggak ngerti.”
“Udah
lupain aja. Kalo elo inget, kondisi kita akan makin parah.” Badai berkata acuh
tak acuh.
“Maksudnya?”
tanyaku tak mengerti. “Badai, plis jangan bikin orang jadi pusing.”
“Lo
sayang sama Tuan Putri lo ini, kan!?”
DEG.
Kenapa
aku jadi deg-degan begini? Padahal kan yang ditanyai Badai itu si Manusia
Badak.
Diam-diam
aku melirik ke arah Atha. Raut wajahnya menunjukkan bahwa dia terkejut tapi dia
tidak berkata apa-apa selain melirik Badai.
“Kalo
elo tau siapa pemilik gelangnya,” ucap Badai. “Dia akan berada dalam
bahaya...,” lanjutnya dengan santai. “Yang lo perlu lakuin sekarang adalah
menjaga Tuan Putri lo ini dalam keadaan apapun. Jangan pernah tinggalin dia
sendiri.”
Aku
tergelak. Ucapan Badai sepertinya benar-benar dalam hati. Tapi apa maksudnya?
Mengapa aku akan berada dalam bahaya jika Atha mengetahui siapa pemilik gelang
tersebut?
“Gue
nggak ngerti...” Suara Atha merendah.
“Kalo
elo tau...” Badai memutar setirnya. “Elo akan mencari orang itu dan
memeringatinya untuk nggak mengganggu Zia.”
Bukankah
itu sikap gentle? Badai ini
kadang-kadang aneh juga ya. Kenapa sikap gentle
seperti itu malah dilarang!? Memangnya kenapa?
“Elo
ngomongin gue kayak gue nggak ada di sini aja.” Aku langsung mencoba
menenangkan suasana yang aneh ini. Kita nggak mungkin adu pendapat di saat-saat
seperti ini, kan!?
“Setelah
itu... Zia yang akan mundur.” Badai melanjutkannya tanpa menggubris sama sekali
kalimatku. “Dan elo... terpaksa ikut menjauh juga.”
Aku
terdiam. Cukup tertegun dengan kata-kata Badai. Tapi mengapa Badai malah
memberitahu kami kemungkinan terburuk?
Aku
bergidik ngeri. Kulihat raut wajah Atha yang berubah menjadi raut wajah
mengerti. Tapi aku masih tidak mengerti mengapa harus seperti itu?
***
“Kita
sampai.” Badai berkata enteng dan mematikan mesin mobilnya.
Uh,
setelah pembicaraan itu, tak ada satupun dari kami yang berbicara. Aku juga
tidak berani mengatakan apa-apa. Bukannya takut, tapi aku juga masih memikirkan
setiap perkataan Badai tadi.
“Di
mana tempatnya?” tanyaku untuk mencairkan suasana.
“Di
ujung gang itu.” Badai menunjuk ke depan. “Lo liat ada rumah tua dua tingkat,
kan?”
“Kita...
nggak akan diserang lagi, kan!?” tanyaku ngeri.
Saat
Awan masih bersama kami saja, kami kalah berkali-kali. Sampai bonyok malah.
Apalagi tanpa Awan. Bagaimana aku bisa melawan mereka nanti? Badai dan Atha
pasti akan sibuk melawan musuh.
“Tuan
Putri lupa ya?” Atha nyengir. “Tadi Ruth bilang kalau cuma ada dua mobil yang
diisi tiga orang di masing-masing mobil.”
Aku
langsung bernafas lega. “Jadi... kira-kira siapa aja yang ada di dalam?”
“Sakura.”
Atha menjawabnya sambil menyeringai lebar.
Badai
mendengus. “Cessa, M, A dan dua orang lagi yang gue nggak tau siapa.”
Aku
mengangguk-angguk. “Oh ya, gue belum kasih tau lo, kalo anak buah Fabi ada yang
panggilannya R. Dia cowok.”
Badai
langsung menoleh. Raut wajahnya seakan terkejut. “Apa lo bilang?”
“Kenapa?”
tanyaku bingung.
“R?
Anak buah M? Cowok?” tanyanya dengan raut wajah aneh.
Aku
mengangguk sambil mengernyitkan keningku. Heran deh. Reaksi Badai berlebihan
banget. Eh... atau jangan-jangan dia tahu siapa kemungkinan orang tersebut!?
“Apa
lo mengenalnya?” Atha menatap Badai yang masih terdiam. “Dari percakapannya
tentang lo, kayaknya dia nggak suka lo.”
“Percakapan?”
Badai mengernyit. “R nggak suka gue?”
“Sepertinya
sih begitu.”
“Tha...”
Badai menatap Atha dengan raut wajah serius. “Lo inget nggak, di kelas kita
yang dulu, gue pernah nggak sengaja ngerjain seseorang?”
“Maksud
lo....!?” Atha membelalakkan matanya. “Lo yakin itu dia?”
“Spekulasi,
Tha. Gue nggak tahu harus bilang bener atau enggak.” Badai berkata pasrah.
“Kalian
berdua ngomongin apaan sih!? Gue nggak ngerti!” Aku berkata jengkel.
Kenapa
sih cowok-cowok ini nggak menganggap bahwa aku masih di sini berdiri
kebingungan dengan arah percakapan mereka!?
“Maaf,
Tuan Putri.” Atha tersenyum manis padaku. Mengacak-acak rambutku. Lalu menatap
Badai lagi. “Pantesan gue merasa pernah denger suara dia.”
“Kalian
serius nggak mau kasih tau gue siapa orang yang lagi kalian omongin!?” Aku
mendelik marah dan kedua orang itu hanya menyeringai ke arahku.
***
BRAK.
Pintu
itu dibuka dengan paksa oleh Atha. Tendangan kakinya memang benar-benar kuat.
Aku saja tidak percaya bahwa kakinya itu bisa membuat pintu kayu yang kuat itu
terbuka lebar hanya dalam sekali tendangan.
Kami
memang sudah menyetujui untuk langsung mendobrak dan mengambil Sakura dan
Prisil secara paksa. Tidak peduli dengan apapun yang ada di depan. karena kami
yakin seratus persen bahwa Fabi tidak memiliki anak buah lagi.
“Ba-Bagaimana
kalian bisa menemukan tempat ini!?”
Aku
melihat wajah tergeragap seorang cewek yang sudah kami ketahui identitasnya
sejak awal. Cessa.
Lalu
tatapanku teralih pada seorang cewek yang berbalut seragam SMA dengan tangan
dan kaki terikat kuat. Mulutnya diikat dengan kain, agar tidak bisa berbicara.
Beberapa luka goresan pisau terlihat di sekujur tubuhnya.
Melihat
kondisi Sakura yang begitu menyedihkan membuatku ingin membunuh Fabi sekarang
juga tak peduli apapun.
“Prisil?”
Badai
menatap Prisil yang mendapat perlakuan yang sama dengan Sakura. Cewek itu duduk
di sebelah Sakura dengan air mata berlinang di pipinya.
Aku
menatap Sakura. Sakura menatapku sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Seakan
memberikan isyarat kepadaku untuk berhati-hati.
“Jadi...
siapa yang akan kalian selamatkan?” Fabi melipat kedua tangannya di depan dada
dengan gaya santainya.
:D terimakasih yang udah mau sempet baca...
:D terimakasih yang udah mau sempet baca...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar