Huhuhu, akhirnya kita mencapai ending. Semoga ending-nya sesuai dengan keinginan ya, dan semoga di buku aslinya nanti ending-nya juga sesuai dengan harapan :) terimakasih yang udah mau baca sampai akhir, komentar selalu ditunggu loh, dont be a silent reader... Happy reading all...
Sebesar apapun usaha Tari untuk terus bertahan dari
keterpurukan, takkan mampu mengubah kenyataan yang ada. Karena... kenyataan
yang ada adalah Ari pergi. Jauh disana. Dan dia takkan menoleh ke arah lain
lagi kecuali di depannya. Membuat Tari benar-benar putus asa menghadapi
kenyataan bahwa Ari tak lagi berada disisinya.
“Jadi... gimana?”
“Gini aja, Dho. Kita ngomong baik-baik sama dia. Bilang
kalo sebenernya Tari cintanya sama dia. Bukan Ata. Supaya masalah ini juga
cepet selesai!” tanggap Oji dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku
celananya.
Mata Ridho langsung berbinar ketika mendengar kalimat Oji
barusan, “ternyata! Elo pinter ya, Ji. Bijak banget!!!”
Lagi-lagi Oji harus menghela nafas jengkel. Ridho pikir
apa dia sebego itu ya!?
“Nggak. Lo nggak bisa ngelakuin itu begitu aja!” tegas
Angga yang duduk bersebrangan dengan Oji dan Ridho. “Gue baru dapet berita dari
Vero... Ata emang tau kalo Tari cintanya sama Ari. Cuma Ata nggak mau ngalah!”
“Ck!” Oji langsung berdecak kesal mendengar nama saudara
kembar Ari itu. Bikin ribet aja! “Dia nggak mau ngalah banget sih!” desahnya
kesal.
“Namanya dibutain sama cinta. Kayak elo aja, Ji. Kalo
mata lo udah dibutain sama makanan, gue ditinggalin!!!” Ridho melirik Oji
sambil menyeringai geli.
Sementara Angga menahan senyum geli saat dilihatnya wajah
Oji yang langsung cemberut. “Udah ah! Sekarang kita fokusin, gimana caranya
bikin Ata nyerah sama kenyataan! Karena... cewek-cewek udah berbaik hati mau
bantu kita nih,”
“Bantu apaan?” kontan Oji dan Ridho berseru bersamaan.
“Nemenin Tari kemana aja! Nyadarin Tari kalo Ari emang
udah nyerahin segalanya ke Ata dan memercayai gue sebagai orang yang bisa
melindungi Tari. Tapi... ngasih tau Tari juga, kalo Ari itu nggak akan pernah
pergi dari kehidupan Tari. Karena Ari cinta Tari!”
***
"Ta... sadar dong! Elo disini cuma sebagai seorang
perusak aja!"
Tubuh Ata terdorong menjauh, ketika kedua tangan Angga mulai
menghakiminya. Ata hampir saja jatuh, namun ia akan melawan dan takkan
membiarkan Angga membuatnya kalah.
"Itu hak gue! Dulu... elo juga sama kayak gue!"
gertak Ata, naik darah. ia tak mampu menyembunyikan kilatan amarah itu dari
kedua bola matanya yang hitam pekat.
"Dulu itu gue melakukan hal berbeda! Gue cuma mau bikin
Ari menderita karena dia udah bikin Anggun pergi! Tapi dalam hal ini gue emang
salah besar. Itu semua takdir! Dan gue nggak bisa mengingkarinya!"
Ata langsung bertindak. Ia melawan habis-habisan cowok yang
berada di hadapannya itu dengan segala usaha. Bahkan tinju pun ia layangkan.
Membuat wajah Angga mulai menimbulkan lebam biru. Ada darah diujung bibirnya.
Angga tak tinggal diam. Ia juga berusaha melawan setiap
serangan yang dilayangkan Ata untuk dirinya.
“LO NGGAK USAH IKUT CAMPUR URUSAN GUE SAMA SODARA KEMBAR
GUE!”
Dengan suara yang menggelegar dan diringi bentakan, Ata
melayangkan satu tinju yang lebih kasar dari sebelumnya ke arah perut Angga.
Membuat cowok itu tiba-tiba terhuyung dan tak dapat menyeimbangkan tubuhnya.
“LO BUTA!”
Angga membalasnya dengan bentakan yang tak kalah menggelegar
dan semua orang yang berada dalam keadaan jarak jauh dengan tempat kejadian
tersebut, pasti mendengarnya.
“INI ANTARA MATAHARI!”
“TAPI INI URUSAN HATI! LO BUTA!”
Kembali Ata melayangkan tinjunya. Geram. Sangat amat ingin
ia hancurkan sosok dihadapannya ini dengan kedua tangannya sendiri.
Sepertinya Angga memilih menyerah, karena ia benar-benar
tak sanggup menahan setiap serangan Ata dan tak dapat membalasnya dengan
serangan yang sama kerasnya. Tubuh Angga terjatuh. Ia tertunduk lemas sambil
mengelap ujung bibirnya yang berdarah.
Sementara Ata masih berdiri dengan luka lebam biru yang
tak kalah banyak dengan Angga. Ia masih menetralkan nafasnya yang
terengah-engah akibat serangan yang ia lakukan secara langsung dan tanpa
berpikir dua kali. Ia benar-benar geram. Ia takkan pernah mau mengalah dalam
hal ini. Sudah cukup ia mengalah hidup dengan ketidak bahagiaan, kali ini ia
takkan membiarkannya kalah lagi!
“Gue udah kasih tau lo! Tari tersiksa dan seharusnya...
elo sadar itu! Kalo lo emang cinta sama dia, lo lepas dia demi kebahagiaannya!
Bukannya memisahkannya.”
“Dia sendiri yang ngabulin, Ga. Gue minta dan dia kasih.
Karena... semuanya udah dia yakinin dalam hati. Semua senyum yang ada di bibir
Tari, dia bilang bukan buat dia, tapi buat gue!”
Angga mendongak, menatap Ata tajam. “Tapi kenapa nggak lo
yakinin kalo Tari senyum buat dia! Bukan buat elo! Gue... yakin banget kalo lo
tau hal itu!”
***
Mata Tari menatap ke langit biru, lalu matanya beralih ke
sampingnya. Menatap kedua temannya. Fio dan Vero yang sedari tadi memerhatikan
Tari, jadi ikut gelisah juga. Apalagi mereka berdua belum mengetahui
perkembangan usaha para cowok untuk mematahkan usaha Ata.
Tari tersenyum menatap kedua temannya. Sedangkan mereka
berdua hanya membalasnya dengan kening yang berlipat rapat. tak mengerti maksud
Tari.
“Kalian tau nggak? Dia pernah bilang... gue dan dia
adalah benda dan bayangan. Manis banget kan!?” ucapnya membuat kedua temannya
itu menjadi tertegun dengan kalimat tersebut. “Tapi... sayangnya dulu gue nggak
nganggep kalimat itu manis. Malah gue benci sama kalimat itu!”
Kali ini suaranya berubah menjadi menyesal, wajahnya
murung lagi. Matanya menatap ke langit biru, lalu air matanya menetes,
mengaliri pipinya yang tirus dan pucat pasi.
“Tar... jangan gini terus dong!”
Tari menoleh, menatap Fio dengan air mata yang terus
mengalir. “Gue emang bodoh!” tangannya memukul kepalanya pelan.
Tangan Vero merangkul Tari, “Tar... dia pasti balik kok!
Gue yakin banget. Dia sayang elo, Tar.”
“Ada dia dan nggak ada dia, sama aja. Hati gue
terluka...,”
Keduanya tertegun. Apalagi ketika mereka menatap jelas
Tari. Cewek itu berusaha tegar, namun tak bisa. Cewek itu berusaha berdiri,
namun selalu terjatuh. Cewek itu menangis, tapi tak kentara. Air matanya terus
mengalir, matanya memerah, wajahnya tetap wajah yang tirus akibat kelelahan.
Tak hanya fisik, tapi juga batinnya.
***
“Gue nyerah! Gue mau serahin dia balik!”
Ridho, Oji dan Angga menoleh. Mereka mendapati Ata sudah
berdiri di ambang pintu kelas. Cowok itu terlihat kacau balau. Bahkan mungkin,
kini ia terlihat begitu mirip dengan Ari.
“Lo yakin?” tanya Ridho dengan alis yang terangkat ketika
Ata sudah duduk dihadapannya. “Gue takut elo malah kalap lagi! Lupa lawan lo
itu siapa.”
Ata mengangguk tegas, “gue yakin banget! Kita hubungin
Ari sekarang!” tegasnya dengan tatapan yang kini sudah terliaht ketulusannya.
“Ponselnya mati. Nggak pernah nyala. Gue udah berusaha
berkali-kali ngubungin dia. Tapi nggak ada tanggapan!” kali ini Oji menatap
layar ponselnya dengan tatapan kecewa.
“Ke rumahnya?”
“Nggak. Nggak. Dia selalu nggak ada di rumah. Home schooling aja nggak jelas
jadwalnya. Kita nggak bisa langsung mutusin ke sana. Masalahnya, tadi malem gue
udah kesana, tapi dia emang nggak ada!” Angga langsung mejelaskan bahwa dirinya
sudah berulang kali menghubungi Ari tapi tetap nggak bisa.
“Jadi... kemana?”
Ketiganya terdiam. Sama-sama memikirkan cara untuk
menghubungi Ari. Hening. Tak ada satupun yang menemukan jawaban. Sementara Ata
masih menatap ketiganya meminta jawaban.
Di dalam keheningan, suara ponsel Oji dan Ridho berdering
kencang. Membuat semuanya langsung menoleh ke arah suara tersebut. Oji dan
Ridho langsung saling tatap ketika muncul nama seseorang di layar ponsel
mereka. Lalu keduanya mengangguk, seakan setuju untuk membukanya bersama.
Dan ketika ponsel tersebut membuka pesannya. Oji
membelalakkan maksimal matanya. Sementara Ridho langsung menatap Angga dan Ata
yang sedang menatap mereka dengan tatapan bertanya.
Lalu mata Ridho mengarah pada Oji, Oji mengangguk
mengiyakan. Melalui isyarat itu Ridho mengerti.
“Kita terlambat!” ucapnya seperti tercekat. Suaranya
sangat sulit untuk di keluarkan ketika ia membuka pesan singkat yang
menghampiri ponselnya tadi.
“Maksudnya apa?” Angga jadi heran.
“Ari udah mutusin untuk benar-benar pergi dari kehidupan
Tari...,” kali ini Oji yang menjawabnya.
“Jadi...?”
“Ari bilang dia mau pergi ke London. Soalnya, kalo di
sini, dia nggak bisa menguasai dirinya untuk nggak ketemu Tari meskipun hanya
dalam jarak jauh dan tak terlihat oleh Tari.” Ridho menatap Ata seperti ingin
melahapnya karena sudah membuat keadaan tambah buruk.
“Kita harus cegah! Tadi dia ngirim SMS kan? Berarti
ponselnya aktif!” Ata langsung berniat untuk mengambil ponselnya dan
menghubungi Ari.
Tangan Oji langsung mencekal tangan Ata, “bukan dia yang
SMS. Tapi Raka, temen baiknya. Dia bilang Ari mau pergi ke London!”
Semua langsung menahan nafas. Tak tahu harus berbuat apa.
Mereka sama sekali tak mengetahui kapan kepergian sosok itu dari Indonesia.
***
Di bawah pohon disana, di sore yang mengindahankan, Tar
berdiri menghadap langit. Dari jarak jauh, Vero dan Fio memerhatikan Tari
dengan seksama. Mata cewek itu bekaca-kaca, menandakan cewek itu akan menangis
sebentar lagi.
Matahari mulai terbenam dan Tari mulai memejamkan matanya
perlahan. Semburat jingganya mengingatkannya pada Ari. pada saat Ari menjadi
Ata dan mereka berdua melihat matahari terbenam di atas gedung. Menikmatinya
besama. Tapi kini tak lagi.
Terdengar suara derap langkah seseorang yang mulai
mendekati Tari. Sebentuk senyum manis langsung terlihat di wajah Tari. Cewek
itu mengharapkan apa yang ada di imajinasinya menjadi satu kenyataan. Ia
langsung membuka matanya, lalu menoleh ke arah kanan, ke arah suara tersebut.
Harapan itu langsung sirnah ketika ia mengetahui siapa
yang datang. Senyumnya langsung lenyap ketika menyadari itu hanyalah imajinasi
dan bayang-bayang sementara. Karena kenyataannya buka itu. Angga menghampirinya
dengan seulas senyum yang ia berikan untuk Tari, cewek itu tersenyum namun tak
seindah yang tadi dan sedikit di paksakan.
“Udah mulai malam...,” ucapnya pelan sambil melihat ke
arah langit yang mulai berubah warna dan memunculkan kegelapan.
“Gue udah tau, Ga...,” Tari menunduk lemah.
Angga menoleh, “tau apa?” alisnya terangkat sebelah.
“Dia... udah pergi. Dia mutusin untuk jauh-jauh dari gue.
Gue sadar, Ga, gue emang...,”
“Tar... maksudnya Ari tuh gini...”
“Jangan. Jangan sebut namanya. Nama itu malah bikin gue
mikir kalo gue dan dia itu terikat dan nggak akan bisa lepas lagi. Nanti gue
berharap lagi, Ga. Jadi... tolong jangan sebut namanya. Nama itu malah bikin
gue seakan berada di dunia mimpi lagi.”
Terdengar helaan nafas panjang Tari. Lalu cewek itu
menatap Angga, tersenyum. Senyum pahit. Matanya berkaca-kaca lagi. Wajahnya
masih sama seperti yang kemarin-kemarin. Pucat. Tirus dan seakan tak bertenaga
dan tak berdaya.
Angga mengerti, bahkan sangat mengerti dengan perasaan
Tari. Tapi Tari salah dalam mengkonstartikan apa yang ada dan yang terjadi. Apa
yang di pahaminya sebenarnya tak sama dengan apa yang seharusnya ia pahami.
“Tar...,” panggil Angga pelan.
“Senjakala udah nggak ada lagi, Ga. Dia udah pergi.
Keberadaannya tak mampu gue tembus hanya dengan mata telanjang. Hanya dengan
kedua bola mata gue. Dia... memilih untuk pergi!” ucapnya. Suaranya bergetar
hebat, seakan kalimat itu mampu menusuk jantungnya. Mampu mengkoyak setiap
perasaan yang sudah tertata rapi di dalam hatinya.
Tertegun. Hanya itu yang dapat Angga lakukan. Cewek itu
langsung menyandarkan kepalanya di bahu Angga. Dan Angga tak melarangnya. Ia
membiarkan cewek ini untuk mencari penyangga, agar cewek ini tak akan terjatuh
meskipun cewek ini sudah berulang kali jatuh dan terluka, bahkan hampir hancur
karena kerapuhan.
Air menetes dari kedua bola mata Tari, cewek itu
menangis. Terisak hebat, matanya mulai memerah. Kedua tangannya menutupi
wajahnya. Sementara tangan Angga memegangi kepala Tari. Membuat Tari
benar-benar di dalam pelukan Angga.
“Gue ikhlas, Ga. Biarin dia pergi. Biarin dia memilih
jalannya. Gue mau dia cari seseorang yang pasti lebih baik dari gue...,”
ucapnya sambil terisak. “Karena dia... sebenarnya baik, Ga. Dia punya sisi
kebaikan yang tak kasat mata. Dia baik saat kita melihatnya lewat mata hati
kita, bukan kedua bola mata kita.”
***
Lebih memilih mana? Bisa melihatnya dengan orang lain
dengan senyuman atau melihatnya bersama kita namun dengan kesedihan. Mungkin
Ari akan memilih untuk membiarkannya bersama orang lain yang pastinya akan
membuat hidup orang itu bahagia dengan ceria. Tapi tanpa Ari sadari itu malah
mengacaukan kehidupan Tari.
“Maafin gue, Tar. Tapi gue nggak bisa...,”
Mata Ari menerawang. Tangannya memegangi koper besar yang
sudah terisi semua baju. Di tangan satunya lagi, Ari memegangi tiket pesawat.
Tubuhnya berdiri tegak menghadap jendela kamarnya. Semalaman ia tak dapat
menutup matanya, setelah melihat Tari tersenyum sendiri di teras rumahnya.
Satu hal itu membuat Ari menjadi berfikir kalau Tari
memang sudah dapat dilepasnya. Sudah dapat berbahagia tanpa kehadirannya. Lagi
pula, sejak kapan Tari bahagia bila bersamanya? pikirnya sambil tersenyum
pahit.
Namun pada saat itu, Ari tak menyadari, tangisan hebat mengiringi
kepergiannya.
Kini ia hempaskan tubuhnya di kasur. Tangannya melepas
pegangan koper, tapi tiketnya masih berada di genggaman tangannya. Ia menatap
ke langit-langit. Ayahnya sudah menyetujui keputusan Ari, bahkan ayahnya
sangat-sangat mendukung. Karena ayahnya akan menyekolahkannya disana, dan
setelah lulus kuliah, Ari yang berhak memegang kendali di perusahaan.
Mamanya juga sudah menyetujui, hanya saja agak sedikit
bimbang saat Ari mengutarakan keputusannya.
“Apa kamu yakin?” tanyanya waktu itu. Wajahnya
memunculkan tanda bahwa ia serius.
Ari mengangguk, “lagi pula Ari kan disekolahin sama ayah
disana...,”
Tangan mama Ari menepuk pundak Ari pelan, “mama tau.
Bukan itu masalahnya. Ada masalah lain kan? ayo... cerita sama mama...,”
Ari tersenyum kaku, hatinya mengiyakan pendapat mamanya
itu. Namun, yang keluar dari mulutnya berbeda. “Nggak, Ma...,” Ari menggeleng.
“Ngak ada masalah lain,” ucapnya pelan. “Ini keputusan Ari. Ari mutusin sekolah
disana,”
Mamanya hanya bisa pasrah dengan keputusan Ari tersebut.
Ata sedang tidak ada di rumah, jadi Ata tak dapat mencegah kepergian Ari ini.
Apalagi, setelah itu Ari benar-benar menghilang. Karena hari pertemuannya
dengan Mamanya adalah hari dimana besoknya Ari akan benar-benar pergi.
Ujian baru selesai beberapa hari yang lalu. Ari sempat
bertemu dengan teman-temannya, namun tak berbicara banyak. Terlebih lagi,
dengan Ata, Oji dan Ridho. Ari berusaha sebisa mungkin tak bertemu tatap dengan
mereka dan usahanya itu berhasil. Setiap kali ketiga orang itu mendekatinya,
Ari akan langsung mencari jarak atau mengarang alasan dan masuk ke dalam kantor
guru dengan tiba-tiba.
Angga juga sudah berusaha menghubunginya dengan berbagai
cara, namun karena kesibukannya di Ujian, ia tak terlalu fokus untuk menghakimi
Ari dengan berbagai macam pertanyaan dan ia tak mampu mengatakan apa-apa untuk
mencegah kepergiannya.
***
Tangannya bergetar saat mendapat pemberitahuan dari Ridho
bahwa Ari berangkat hari ini. Berita itu mengguncangnya, membuatnya kehilangan
kesadaran. Membuatnya seolah tak mampu bernafas lagi.
Kenyataan itu membuatnya memikirkan satu hal, bagaimana
jika ia tak dapat bertemu dengan Ari lagi? Bagaimana jika dia takkan pernah
lagi melihat “matahari”-nya tersenyum seperti dulu? Bagaimana jika
“matahari”-nya itu pergi bersama seseorang yang mampu mencabik-cabik hati Tari?
Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, mengusir setiap
kecurigaan yang ada di benaknya. Lalu matanya menatap ke langit yang masih
cerah akibat sang mentari masih bersemangat untuk menerangi bumi.
“Tar...” Tari mendengar namanya di panggil. Kepalanya
menoleh ke belakang dan mendapati keenam orang itu hendak menghampirinya. Yang
memanggilnya sudah pasti Angga. Suaranya begitu tegas namun mampu memberikan
sejuta kenyamanan di hati Tari.
“Ari udah berangkat,” katanya setelah berdiri di damping
Tari.
“Maafin gue, Tar. Gue tau selama ini gue salah, gue...,”
“Nggak apa-apa,” Tari langsung memotong perkataan Ata
yang terdengar merasa sangat bersalah itu. “Gue ikhlas...,” ucapnya sambil
memaksakkan seulas senyum. “Gue tau, dia emang lebih baik pergi dari kehidupan
gue. Karena kalo dia ada di samping gue, gue malah nyakitin dia.”
“Tar, Ari pergi bukan karena...”
“Nggak usah mengelak dengan kenyataan yang udah ada, Ta.
Gue nggak apa-apa kok. Gue ngerti, gimana rasanya mengejar lama, tapi
dicampakkan begitu aja.”
Semua terdiam. Ikut sedih dengan keadaan Tari yang
semakin lama semakin hancur.
***
Hari mulai sore. Namun, kaki Tari terasa berat untuk
meninggalkan tempat ini. Tempat dimana jika kita melihat matahari “pulang”
sungguh terasa indah. Ia kesini di antar Ridho tadi. Ridho bilang kalau ini
adalah tempat kesukaan Ari dulu. Tempat dimana Ari memikirkan segalanya.
Tentang masa lalunya dan di tempat ini lah Ari melihat keindahan alam yang
nyata.
Nggak ada yang berani menunggunya disini. Semuanya sudah
pulang seja tadi karena jelas-jelas Tari “mengusir” mereka dengan tatapan
memohon dengan sangat amat bahwa dia memang sedang ingin sendiri. Urusan
pulang, ia bisa naik taksi. Atau ia bisa menelpon salah satu diantara keempat
cowok itu.
Tari tersenyum, senyum pedih.
“Kenapa sedih?”
Suara itu membuatnya menoleh, dan apa yang dilihatnya
sama sekali seperti yang ada did alam bayangannya. Ari! Cowok itu berdiri tegak
dibelakangnya sambil menyunggingkan seulas senyum yang manis.
Sebentar! Mungkin penglihatannya salah atau ia
berimajinasi lagi!? Atau mungkin saja itu Ata bukan Ari! mereka kan mirip dan
Tari tak bisa membedakkannya lewat cahaya yang mulai meredup.
“Kenapa diem aja?” kali ini cowok itu duduk disebelah
Tari. Tangannya mengacak-acak rambut Tari. “Lo itu bisu atau gimana? Hmm?”
Tari tersentak. Matanya melebar ketika menyadari bahwa
sosok dihadapannya ini benar-benar Ari bukan saudara kembarnya! Ia menggeleng
kuat, menyadarkan penglihatannya yang mungkin agak salah.
“Kenapa?” kedua alis cowok itu terangkat.
Air mata Tari mengalir, matanya menatap cowok di
sampingnya itu. lalu ia tersenyum... namun
sambil menangis!?
“Lucu kan gue!? Atau gue emang udah bego? Tapi lebih
tepatnya sekarang gue udah gila!” suaranya seperti terluka dan tersakiti.
“Sekarang gue malah bayangin dia di samping gue! Nggak jadi ke London, lalu
duduk diamping gue sambil tersenyum. Trus... dia ngacak-ngacak rambut gue
sambil ngomong nggak jelas!”
Kepalanya ia geleng-gelengkan. Kedua tangannya memegangi
kepalanya dengan erat. Berusaha mengenyahkan imajinasi yang ada di sampingnya
itu. Lalu matanya beralih lagi ke arah samping, tapi imajinasi itu tak kunjung
hilang dari hadapannya.
“Tuh kan, gue udah gila! Dia masih aja ada disini,” cewek
itu terisak hebat. Air matanya masih mengalir sambil memandangi wajah orang
yang ada disampingnya. Wajah yang menimbulkan ekspresi bingung.
Tangan Ari langsung menghentikan tindakan Tari yang
memukuli kepalanya sendiri. Lalu ia memaksakkan wajah cewek itu mengarah
kepadanya. Kedua bola mata cokelatnya kini masih berkabut, sebagian air matanya
telah menetes jatuh dipipinya. Dengan ibu jarinya, Ari menghapus air bening
itu. “Ini gue, Tar!”
“Gue... minta maaf. Karena gue nggak bisa nepatin janji
gue untuk nggak ngeliat elo. Karena, setiap kali gue jauh dan nggak bisa
ngeliat elo, hati gue hampa, Tar.”
Lalu saat itu juga Tari tersadar, ini kenyataan! Sosok
dihadapanya benar-benar riil! Kontan tangisnya semakin kencang. Lalu kedua
tangannya memukuli tubuh sosok dihadapannya.
“Kenapa kalo lo bilang gitu!?” desisnya. “Kenapa elo
bilang gitu, tapi elo mau pergi jauh dari gue!” Ia mulai histeris dan tak dapat
terkendali. “Kenapa?”
Kenapa? Pertanyaan itu membuat kedua alis Ari terangkat.
Ia juga tak mengerti kenapa, yang ia tahu hanyalah, cewek di hadapannya ini
terlihat ceria saat menerima segalanya yang berhubungan dengan saudara
kembarnya.
“Karena lo lebih bahagia sama Ata...,”
Kedua alis Tari terangkat, “Ata? Bahagia sama Ata?”
ulangnya tak mengerti.
“Dari cara lo mandang dia, dari cara lo nerima hadiah
dia, dari cara lo tersenyum, dari cara lo...,”
Ari memiringkan kepalanya, menatap Tari yang tak juga
memberikan reaksi. Ia melihat seulas senyum terukir indah di wajah cewek itu.
terpaksa ia memberhentikan kata-katanya sendiri.
Cewek itu terlihat tersenyum, “jadi lo kira gue suka
Ata?”
Tak ada jawaban. Ari terdiam, masih menatap cewek itu
dengan bingung.
“Boleh gue jujur?”
“Mungkin enggak,” ucapnya. “Karena kalo lo jujur, gue...
gue...,”
“Tapi... gue mau jujur,” ucap Tari menahan senyum.
Ari terdiam. Cukup lama. Namun cowok itu langsung
mengangguk, meskipun terlihat ragu.
Setelah menarik nafas panjang, Tari langsung
mengatakannya. “Waktu gue nerima hadiah dia, gue senyum. Gue bahkan sempet
ngelamun sambil senyum-senyum sendiri. Lo tau nggak kenapa?” Ari menggeleng.
“Karena... gue inget, kalo dulu lo pernah melakukan hal yang sama. Gue inget
gimana perasaan gue jumpalitan pas elo masang kalung di leher gue. Kalung
ini...,” Tari menunjukkan kalung yang sedang dipakainya itu.
“Gue nggak tau kenapa lo bilang senyum gue beda saat liat
dia. Tapi... jujur, saat gue liat Ata, yang ada di pikiran gue, justru elo. Gue
malah menganggap bahwa... orang yang dihadapan gue saat itu adalah elo!”
Sekali lagi, Ari tertegun mendengar penuturan cewek ini.
Ia diam dan tak dapat berkomentar apa-apa. Dia... benar-benar merasa...
mungkin... senang!
“Secarik kertas yang ada di hadapan gue waktu itu juga
ngebuat gue mikir sendiri. Tapi bukan mikir kalimat itu mampu menyentuh
perasaan gue. Tapi... kalimat itu mengingatkan gue saat elo bilang bahwa kita
itu adalah benda dan bayangan. Jadi... gue nggak bisa nahan senyum saat inget
penuturan aneh lo yang... eng... gue suka.”
Ari menatap Tari, cewek itu mungkin benar. Apa yang ada
di dalam pikiran Tari takkan pernah diketahuinya. Dan ia tak tahu apakah Tari
bohong atau tidak padanya, yang jelas ia merasa... sangat senang! Kedua bola
mata Tari memberikan senyum, membuat Ari mengetahui bahwa cewek itu tidak
bohong. Cewek itu mengutarakan isi hatinya.
Ari tersenyum, lalu kedua tangannya merengkuh Tari
kedalam pelukan hangatnya. “Gue sayang sama lo, Tar.” Mata Ari terpejam dengan
senyum diwajahnya.
Kedua tangan Tari melingkat di leher Ari, tersenyum. “Gue
juga...,” ucapnya senang.
Wajah Ari mulai mendekat dengan wajah Tari. Mata Tari
langsung terpejam rapat. Tangan Ari mengangkat dagu Tari mendekat. Lalu Tari
merasakan bibirnya di sentuh oleh bibir Ari. Rasa hangat langsung Tari rasakan
di sekujur tubuhnya dan Tari yakin wajahnya sudah merah merona.
Matahari terbenam. Memunculkan warna-warna indah
dilangit. Melukiskan sejuat perasaan yang berada di dalam kedua orang yang
tengah duduk di saung itu. Tangan Ari merangkul Tari, sementara tangan Tari
melingkar di pinggang Ari. Keduanya menatap ke arah yang sama. Ke arah matahari
terbenam. Ini lah satu keindahan alam yang menyatukan keduanya.
***
“Gue rasa... usaha kita berhasil untuk menghasut Ari.”
“Kita nggak menghasut Ari, tapi kita bohongin Ari. Kita
kan bilang kalo Tari sekarang mau coba bunuh diri...,” ralat Vero merubah
kata-kata Angga.
“Ide siapa sih?” Ridho melirik ke semua orang yang ada di
sekelilingnya. “Gila banget! Si Ari sampe pucet gitu pas tau,” ucapnya sambil
tersenyum geli. “Tapi... tadi gue ngira si Tari juga bakal bunuh diri. Soalnya
dia keliatan putus asa banget!”
Oji nyengir, “gue sama cewek gue dong!” ucapnya bangga.
Tangan kanannya merangkul pundak Fio.
Cewek itu langsung melotot tajam, “apa? Cewek lo? Ngarep
banget lo!” di pukulnya kepala Oji pelan dengan buku yang di pegangnya.
“Ya ampun, cintaku! Jahat banget sih!” Oji langsung
manyun. Tangannya yang bebas mengelus-elus kepalanya yang sebenarnya nggak
sakit. “Nah, Dho. Gue kan udah sama Fio nih. Si Bos juga udah dapet
mataharinya. Lo mau sama siapa? Lo doang yang jomblo lho!” kepala Oji dijitak
lagi sama Fio, tapi Oji nggak peduli.
“Si Angga sama si Ata juga jomblo!” ralat Ridho kesal.
“Oh tidak bisa! Angga sama Vero aja. Jadi... elo sisa aja
yak!” ucapnya dengan seringai geli. “Elo sama... Ata!”
“APA???” seru kedua orang itu dengan mata yang terbelalak
lebar.
Suka sama ceritanya :D
BalasHapusMakasih banyaaaak yaaa :)))
Hapuskeren
Hapusmakasiiih banyaaak :D
HapusDiawal ceritanya belibet kaya dulu"an gitu tapi lambat laun keliatan apa yg mau disampaikan. Alurnya unik krna saat masalah kelar timbul masalah baru lagi dan untuk endingnya bikin galau haha. So far ceritanya keren banget. Masih ga nyangka ternyata ridho endingnya sama ata
BalasHapus