Sebuah cerita untuk temanku, Achi. Udah lama nggak nulis dan ini cerita lama banget. Semoga suka :)
Achi menatap satu
persatu temannya yang sedang serius belajar dan memperhatikan guru. Pikirannya
masih kalut tentang kejadian tadi malam. Widhan, pacarnya, marah lagi. Entah
kenapa cowok yang satu itu selalu membuat perasaannya jadi galau.
Kalau dipikir-pikir,
Achi termasuk cewek cantik yang kalau mau cari cowok tinggal tunjuk aja. Tapi
semenjak bertemu dengan Widhan, dia sama sekali nggak bisa berkutik. Hatinya
nggak bisa berpindah ke lain hati lagi. Apalagi, Widhan merupakan cowok yang
dia suka sejak SMP.
“Achi, elo
ngelamunin apa sih?” bisik Ester yang duduk di sebelahnya dengan rasa
penasaran.
Achi tersentak.
Kepalanya kontan menoleh ke samping kananya. Terlihat Ester menatap guru yang
sedang menjelaskan di depan. Tapi Achi tahu bahwa temannya yang satu itu
mendengarkannya.
“Biasa. Mikirin
Widhan...” ucap Achi lemah.
“Kenapa? Ribut
lagi?” tanya Ester pelan. Kali ini kepalanya menoleh sedikit ke arah Achi.
Soalnya yang sedang ngajar Bu Cica. Guru killer
yang ngajar pelajaran Sosiologi.
“Iya. Aduh...
pusing!!!”
Tanpa sadar Achi
malah berseru keras sehingga satu kelas menoleh ke arahnya. Termasuk Bu Cica
yang sedang mengajar.
Kontan Achi
langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan. Baru sadar kalau ucapannya
membuat satu isi kelas menoleh ke arahnya.
“Kamu pusing?”
tanya Bu Cica sambil menghampiri Achi. “Kalo kamu pusing. Kamu keluar aja!!!
Nggak usah ikut pelajaran saya...”
Mampus! umpat Achi
di dalam hati. Merutuki kesialannya yang sepertinya tidak pernah berakhir.
“Tadi Achi
kepalanya pusing, Bu. Bukannya pusing ngikutin pelajaran Ibu Cica...” ucap
Ester sebelum Achi salah ngomong.
“Ooh, ya sudah.
Kamu ke UKS saja sana. Kalau sudah baikan, kembali lagi ke kelas. Dari pada
kamu pingsan di sini.”
Kali ini ucapan Bu
Cica agak memelan dari pada sebelumnya.
Achi mengangguk
pelan. Dengan ditemani Ester, ia menuju ke UKS. Untung saja Bu Cica percaya
dengan ucapan Ester. Kalau tidak, bisa-bisa mati ditempat nih.
Ester nggak
sepenuhnya bohong kok. Dia mengatakan bahwa kepala Achi memang pusing. Memang
bukan karena pelajaran Bu Cica, tapi karena Widhan. Alasan yang tepat dan tak
merugikan ataupun membahayakan.
“Thanks, Ter.”
Achi menoleh ke arah Ester.
“You’re welcome.”
*** ~Rinstriwi~ ***
“Tadi elo beneran
sakit? Sakit apaan?” tanya Jojo histeris.
“Biasa deh, Jo.”
Achi langsung menutup telinga. Dia paling tahu kalau Jojo sudah mengeluarkan
suara, pasti suaranya membahana ke mana-mana. Jadi cukup menyiapkan kapas atau
earphone untuk menutupi telinga agar suaranya nggak merusak gendang telinga.
“Oke! Ini gue
biasa. Jadi, elo sakit beneran tadi?” tanya Jojo dengan suara yang agak
dipelankan.
“Iya, Jo...” ucap
Achi dengan wajah sedih.
Sementara Ester
cekikian sendiri di sebelah kanan Achi.
“Sakit apaan?
Emangnya elo bisa sakit?” tanya Jojo dengan wajah angkuh. Meledek maksudnya.
Achi langsung
cemberut. “Sakit hati, Jo.”
Semua yang
memerhatikan, yang tadinya tegang luar biasa, jadi langsung menunjukkan wajah
kesal.
“Gue kira apa!”
cibir Diah. “Pasti Widhan lagi, kan!?” terkanya dan tepat sasaran.
Achi mengangguk.
“Marah terus sama gue. Kayaknya semua yang gue lakuin nggak ada yang bener di
mata dia. Capek!”
“Gue heran deh,
Chi! Masalah kecil aja pasti dia gedein. Kali ini masalah apa lagi?” tanya Jojo
penasaran.
“Gara-gara gue
sms’an sama Riyan. Padahal cuma sms biasa. Nanyain tugas doang.”
“Kenapa sih nggak
putus aja? Kita juga nggak sreg sama dia. Padahal elo bisa tunjuk cowok mana
yang elo mau...” ucap Ester. “Yah, gue tau elo cinta sama dia. Tapi buat apa
kalau begini terus?”
Achi terdiam dalam
seribu kata yang berputar di otaknya.
“Nggak
usah dipikirin sampe segitunya, Chi.” Sarah tersenyum simpul.
*** ~Rinstriwi~ ***
Hampa. Satu kata
yang sedang mengisi hati Achi. Hari ini dia nggak pulang bersama Widhan. Dia
sedang malas bertatap muka dan juga mendengar omelan Widhan.
Kakinya berjalan
menelusuri gang bersama teman-temannya yang lain. Wajahnya menunduk menatap
jalan beraspal itu. Langkahnya memang tertinggal dengan teman-temannya.
Pikirannya yang membuat jalannya melambat.
Tiba-tiba
tangannya di tarik dari arah belakang. Ia mendongak. Kaget. Achi melihat Widhan
tengah memandanginya dengan tatapan datar. Tatapan yang selalu dimunculkannya
setiap kali marah dengannya.
“Kamu pulang sama
aku,” katanya pelan.
Nadanya seperti
menahan gejolak amarah. Mungkin saja Widhan tidak ingin marah-marah di tempat
umum seperti ini.
“Aku mau pulang
sama temen-temen aku.” Achi menolak pelan.
Widhan
menghembuskan nafas beratnya. Menahan rasa amarah. “Ada yang pingin aku omongin
sama kamu. Tapi nggak di sini.”
Achi diam. Belum
bisa mengambil keputusan. Widhan menatapnya terus, menunggu jawaban. “Bisa,
kan!?”
Akhirnya Achi
mengangguk. Seperti ada dorongan yang memintanya terus menuruti apa yang
dikatakan Widhan padanya.
Perlahan, Achi
menaiki motor Widhan. Dan saat melewati teman-temannya, ia melambai sambil
berkata, “gue duluan ya!!!”
Yang lain sempat
melongo melihat Achi yang tiba-tiba pulang bersama Widhan. Namun sedetik
kemudian mereka menanggapinya. “IYAAA!!!” seru mereka kompak.
Motor Widhan
melaju cepat membelah kota Jakarta. Membelah hiruk pikuk yang menjadi sebuah
hal yang tak asing lagi di Jakarta.
Sampai di suatu
tempat. Di mana banyak alang-alang tumbuh. Dengan nuansa langit biru dan
matahari yang bersinar cerah. Udara yang bebas dari polusi serta keindahan
tiada tara. Burung berkicau dengan nada-nada yang teratur.
Widhan menggenggam
tangannya erat menelusuri alang-alang. Sampai di suatu tempat di mana terletak
satu kursi taman berwarna putih, Widhan menghentikan langkahnya. Lalu mengajak Achi
duduk bersama.
“Apa yang pingin
kamu omongin?” tanya Achi pelan. Wajahnya menunduk tak berani melihat ke arah
Widhan.
“Tentang kita,
Chi.” Widhan terdiam sejenak. Ia memandang Achi yang masih saja menundukkan
wajahnya. Lalu jari telunjuknya menyetuh dagu Achi. Menyuruhnya untuk
menunjukkan wajahnya. “Aku nggak mau bertele-tele.”
“Omongin aja.”
“Aku cuma nggak
suka aja kamu sms’an sama cowok lain selain aku...”
“Kamu juga suka
sms’an sama cewek lain selain aku, kan!?” balas Achi sebelum Widhan
menyelesaikan ucapannya.
“Iya. Aku emang
sms’an tapi mereka itu temen aku...”
“Dia juga temen
aku!” balasnya lagi.
“Dia emang temen
kamu. Tapi udah keliatan banget kalau dia suka sama kamu! Makanya itu... aku
takut.”
Kedua alis Achi
bertatut. Bingung dengan kalimat Widhan.
“Aku takut aja
kalo kamu berpaling sama yang lain. Aku takut kalau kamu...”
“Aku juga takut!
Tapi kamu terlalu egois! Kamu mentingin diri kamu sendiri!”
Widhan diam.
Matanya menatap Achi tak sabar. “Bisa, kan, kamu nggak potong ucapan aku dulu!?
Aku belum selesai ngomong!”
“Lalu? Kalo kamu
udah selesai ngomong, apa bakal kamu yang bilang kalau kamu salah!? Pasti aku,
kan!? Selalu begitu!”
Emosi Achi sudah
pecah. Meledak ke mana-mana. Tak dapat ia tahan rasa kecewa juga amarah. Namun,
satu kata yang masih tetap di hatinya. Masih terbungkus rapi oleh balutan
waktu. Yaitu, sayang. Dia masih sayang dengan Widhan meskipun Widhan egois.
“Di sini aku
pingin menyelesaikan masalah aku dan kamu! Bukannya malah tambah memperumit
masalah!”
“Kamu yang buat
masalah ini semakin rumit!” Mata Achi sudah berkaca-kaca. Pikirannya benar-benar
berputar. Penuh dengan masalah-masalah yang tak kunjung ia selesaikan.
“Aku nggak bikin
masalah ini rumit, kalo kamu berhenti motong ucapan aku! Kamu bisa ngerti
sedikit aja nggak sih!?” Gantian Widhan yang mengeluarkan emosinya. Dia juga
sudah tak tahan menahan sabar.
“Aku mau pulang!”
Achi baru saja akan melangkahkan kakinya. Namun tangannya dicekal erat oleh
Widhan. Achi meringis kesakitan.
“Jangan lari dari
masalah, Chi! Aku mau kita selesain sekarang!” ucap Widhan dengan amarah
tertahan.
Achi berbalik.
Matanya menatap mata Widhan tepat di manik mata. Dia tak sanggup menyembunyikan
perasaannya. Perasaan di mana ia selalu bingung memilih jalan. Dia sudah cukup
sabar dengan keegoissan Widhan sampai-sampai kesabarannya hilang. Namun ia
sadar akan sesuatu, ia tidak ingin Widhan pergi meninggalkannya. Karena dia
masih menyimpan perasaan itu.
Tanpa Achi sadari,
dengan satu gerakan cepat, Widhan telah merengkuhnya ke dalam pelukan hangat.
“Aku sayang sama
kamu. Makanya aku begini,” bisik Widhan lirih di telinga Achi.
Kehangatan akan
kasih sayang itu kembali merasuki tubuh Achi. Di mana ia tidak dapat melepaskan
Widhan begitu saja.
*** ~Rinstriwi~ ***
“Roman, romannya
ada yang udah nggak berantem nih!” Jojo berseru saat melihat Achi datang dengan
senyum sumringah di wajahnya.
“Hahaha, Jojo, tau
aja kalo gue lagi seneng!” ucap Achi langsung duduk di sebelah Jojo. Tas dan
buku ia letakkan di meja milik Jojo.
“Eeh, seneng sih
seneng. Tapi ini meja Arrum,” sunggut Jojo sambil menyingkirkan tas dan buku
milik Achi ke meja Achi.
“Ya ampun, Jo. Kan
numpang dulu sebentar. Bel-nya juga masih lama,” cibir Achi.
Memang nggak bisa
dipungkiri, hari ini Achi lagi senang dan nggak mungkin marah-marah. Dia nggak
mau mood bagusnya hari ini rusak hanya karna masalah sepele.
Keduanya menoleh serempak
saat ada yang masuk ke dalam kelas yang sepi. Karna isinya cuma ada Intan, Dita
dan mereka berdua. Di depan pintu sudah muncul Riyan dengan jaket hitamnya. Ia
menghampiri Achi yang duduk di sebelah Jojo.
“Chi, kok sms gue
semalem nggak dibales?” tanya Riyan heran.
“Gue udah tidur.
Jadi nggak bales sms elo deh,” jawab Achi.
“Gue kalang kabut,
tau! Nanyain tugas sama elo tapi nggak elo bales. Gue kan takutnya tugas
sosiologi dikulumpulin sekarang,”
Jojo mendelik,
“heh! Lagian kenapa elo nggak nanya sama gue atau temen yang lain? Bisa, kan!?
Jadi, nggak usah nyusahin Achi terus.”
“Iya, bener! Kalo
nggak elo sms gue. Biasanya anak-anak kalo nanya tugas pasti ke gue. Lagian elo
nggak punya jadwal apa!? Tugas kapan dikumpulin. Dasar modus!” sahut Dita.
“Mau banget apa
gue sms kalian?”
Jojo dan Dita
langsung kompakkan bilang, “songong ni anak!”
Dan tanpa ampun
Jojo langsung melempar penghapus papan tulis ke arah Riyan. “Tuh! Buat orang
songong. Awas kalo elo sms gue, nggak bakalan gue bales!”
Sementara Achi dan
Intan hanya menyaksikan dengan tertawa geli.
“Siapa juga yang
bakal sms elo? Nggak banget. Ngabisin pulsa kalo gue sms elo, Jo!” ucap Riyan
sambil menjulurkan lidahnya. Lalu melangkah menuju tempat duduknya.
“Bener kurang ajar
tuh anak!” sunggut Jojo kesal. Ia melirik ke arah Achi yang masih tertawa geli.
“Tuh, kalo elo sampe jadian sama tu anak, gue yakin anak-anak pada gila semua!”
“Gue kan cuma suka
sama...”
“Sama Widhan!?
Oke, itu Kakak kelas kayaknya udah bikin elo kelepek-kelepek ya. Atau jangan-jangan
elo dipelet. Tapi nggak mungkin juga sih ya. Zaman modern gitu!”
Achi tertawa puas.
*** ~Rinstriwi~ ***
Jam istirahat
seperti ini waktunya Achi, Jojo, Diah, Dita dan yang lainnya makan puas di
tukang bakso langganan mereka di depan sekolah. Kalau yang satu makan bakso
pasti yang lainnya kompakkan ikut makan bakso. Buat mereka satu kepentingan
yang harus mereka jaga dalam persahabatan. Solidaritas!
Mata Diah bergerak
menelusuri jalan aspal di pinggirnya. Meneliti satu per-satu orang yang sedang
lewat. Siapa tahu ada kakak kelas gebetannya yang lewat. Namanya Afa. Kakak
kelas sebelas yang ada di jurusan IPS.
Tapi bukannya Afa
yang dia lihat, tapi malah kakak kelas dua belas jurusan IPS yang ia lihat.
Yap! Pacar Achi. Widhan.
“Chi, pacar lo
tuh!” ucap Diah sambil menyikut lengan Achi pelan.
Achi menoleh.
Tatapannya beradu dengan mata Widhan. Achi tersenyum, namun Widhan tidak.
Wajahnya tetap datar, lalu ia memalingkan wajahnya. Berpura-pura tidak melihat
Achi dan terus berjalan dengan teman-teman gerombolannya.
“Lho, Chi, pacar
lo mau ke mana?” tanya Dita kaget saat melihat Widhan pergi pada saat jam
istirahat keluar sekolah.
Achi menggeleng.
Wajahnya yang semula ceria kembali menjadi wajah cemberut dan ditekuk rapat.
“Bolos kali!” sahutnya kesal.
Lagi pula, Widhan
tak pernah memberitahunya ingin pergi ke mana dan dengan siapa. Widhan selalu
menjalankan sesuatu tanpa Achi ketahui. Satu sifat egois yang lagi-lagi tak
Achi sukai.
“Eh, bukannya
sekarang anak kelas dua belas foto-foto buat bikin buku kenangan?” seru Jojo
baru teringat sesuatu. “Soalnya Kak Al nge-tweet bilang mau foto-foto buat
bikin buku kenangan!”
Otak Achi
berputar-putar mencari jawaban. Benar juga. Kakak kelas yang disukai Jojo itu
kelas dua belas juga. Berarti benar. Widhan juga ikut foto-foto.
Inget, Chi. Cuma
foto-foto aja kok. Jangan negatif thinking dulu, Achi berucap sabar dalam hati.
Melihat Achi
terdiam seperti itu, Diah langsung angkat bicara. “Udah! Nggak usah dipikirin
segitunya. Lo baru aja baikan sama dia, masa mau berantem lagi!?”
Achi menoleh ke
arah Diah. Tersenyum simpul lalu mengangguk pelan. Achi dan yang lain
melanjutkan acara makan-makannya. Meskipun nafsu makan Achi agak berkurang
karna hal itu.
*** ~Rinstriwi~ ***
“Kenapa, Chi?
Galau lagi? Mikirin Widhan?”
Achi tersentak
saat satu suara menganggu lamunannya. Ia mendongak dan menatap orang itu. Ryan.
Tangannya menyentuh pundak Achi pelan. Mencoba menanyakan masalah Achi.
“Yah, selalu dia.”
“Kayaknya tiap
hari mikirin dia adalah aktifitas wajib lo ya? Bawa happy aja lah, Chi. Dia kalo emang sayang sama lo, dia pasti nggak
akan ngelirik yang lain.”
Diam. Achi tak
bisa mengeluarkan sepatah kata-pun. Dia sudah lelah terus begini. Awalnya,
hubungannya dengan Widhan adem ayem aja. Tapi entah kenapa, belakangan ini malah
sedang menuju konflik ketegangan.
Achi ingat jelas
bagaimana dulu saat dia pertama kali menjadi pacar Widhan. Dimanja, disayang
dan selalu diperhatikan.
“Makan kamu
belepotan,” ucap Widhan saat dirinya dan Widhan makan di salah satu tempat
makan.
Tangan Widhan
bergerak menuju bibir Achi. Dihapusnya saus yang terletak di ujung bibir Achi
dengan pelan. Lalu Widhan tersenyum. Sementara wajah Achi sudah merah padam
seperti tomat.
“Makasih,” ucapnya
malu-malu.
“Nggak usah malu
gitu. Sama pacar sendiri kok!” ucap Widhan lembut.
“Tapi aku keliatan
jelek,” ucap Achi sambil menunduk malu.
Jari Widhan
menyentuh dagunya. Membuat wajah Achi terangkat dan menatap matanya.
“Aku nggak ngeliat
kamu dari penampilan kamu. Buat aku, saus belepotan di bibir kamu aja bikin kamu
keliatan manis.”
Dan saat itu
senyum secerah matahari mengembang di bibir Achi setiap hari dan kini berubah
menjadi senyum perih nan pahit yang harus di tampilkannya setiap hari untuk
menunjukkan betapa putus asanya dia terhadap hubungannya dengan Widhan.
“Jangan kebanyakan
ngelamun gitu!” seru Ryan tepat di telinga Achi.
Achi kembali ke
pada dunia nyatanya. Dan bayangan masa lalu itu menghilang sekejap. Lalu Achi
tersenyum menatap Ryan, senyum perih.
“Lo jelek kayak
gitu!” ucap Ryan sambil tertawa. Tertawa prihatin.
*** ~Rinstriwi~ ***
Kmu udah makan belom? :3
Mata Achi terasa
perih melihat salah satu sms yang di lihatnya dari inbox ponsel milik Widhan.
Oke! Kalau itu berasal dari Achi, Achi bakalan biasa aja atau malah
senyum-senyum nggak jelas kayak orang gila.
Sayangnya, sms ini
berasal dari cewek cantik, pintar, manis, dan tajir! Dan satu kenyataan yang
tak mungkin bisa dihilangkan dari cewek ini adalah statusnya. Mantan Widhan!
Perlu diperjelas lagi bahwa dia, cewek itu adalah MANTAN WIDHAN! MANTAN!
Seorang mantan
pasti memiliki kenangan. Pernah sama-sama memiliki perasaan yang sama. Pernah
mengalami yang namanya waktu indah bersama yang tak mungkin dapat dilupakan.
Dan hal itu tak luput dari
bisa-aja-dia-balikan-lagi-sama-mantannya-yang-cantiknya-naudzubillah-itu.
Oke! Achi menarik
nafasnya dalam-dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Terus, sampai perasaan
emosinya sedikit mereda.
Sementara Achi
duduk sendiri sambil memegang ponsel Widhan, Widhan sedang ke kamar mandi
sebentar.
Achi sebenarnya
mau marah-marah sama Widhan. Namun ia melihat kondisinya saat ini sangat amat
tidak memungkinkan. Selain dia berada di mall besar dengan orang-orang yang
berseliweran di dekatnya, dia juga kehabisan kata-kata untuk marah lagi.
“Hei, nggak lama,
kan!?”
Widhan datang.
Achi membalikkan badannya. Senyum tersungging di bibirnya. Senyum nggak ikhlas
sih. Tapi mau gimana lagi!? Mau marah-marah di depan umum lalu diusir sama
satpam? Nggak elit banget!
“Oh! Nggak lama
kok!” ucap Achi agak dikeraskan.
“Kamu agak aneh.
Kenapa?” tanya Widhan heran. Ia menyadari rupanya, perubahan sikap Achi
terhadapnya dalam hitungan menit.
“Oh! Aku aneh?
Apanya yang aneh?”
Achi masih
memasang wajah polosnya, seperti mengatakan
aku-nggak-apa-apa-cuma-syok-aja-liat-sms-kamu-yang-kelewat-romantis-banget-itu-sama-mantan-kamu.
“Wajah dan nada
suara kamu?”
Tangan Achi
langsung meraih tangan Widhan. Lalu menggandengnya. “Ah! Perasaan kamu aja.
Mungkin karna aku lapar, jadi agak aneh kali ya...” ucapnya sambil tertawa.
Tentu saja. Tawa
yang dipaksakkan.
Widhan yang
bingung hanya dapat menuruti kemauan Achi hari ini. Lagi malas berantem juga
sih.
*** ~Rinstriwi~ ***
Pagi harinya di
sekolah, semua teman gempar karena kaget melihat wajah Achi. Untung waktu masih
pagi, jadi belum ada anak cowok yang datang, yang pastinya bakalan nanya
macam-macam sama Achi.
“ACHI MATA LO
KENAPA!?” teriak Jojo nggak karuan.
Achi langsung
menghambur ke pelukan Ester. Dia menumpahkan semuanya. Semua tangis akan sakit
yang terus dirasanya. Lelah, letih dan segala macam perasaan yang terus menerus
membuatnya seakan terjepit oleh sebuah keadaan di mana dia harus melepas
sesuatu.
Semua kontan
langsung mengerubutinya.
“Ada apa?” tanya
Diah penasaran.
“Lo nangis
semaleman?” tanya Dita ikut-ikutan.
“Pasti sama si
Widhan lagi!” terka Putri.
“Udah-udah!” Ester
menyudahi. “Biar Achi tenang dulu dong! Lo mau bikin dia tambah nangis kejer
dengan nanya-nanya begitu!?”
“Ya
ampun, Chi. Putusin aja deh si Widhan!” Dita langsung emosi melihat teman
dekatnya itu penuh dengan air mata.
Saat
itu juga dia hanya bisa menggeleng kecil. Kemudian jari jemarinya menghapus air
mata yang mengalir di pipinya.
“Nggak
mungkin,” ucapnya selirih angin.
“Apanya
yang nggak mungkin sih!? Widhan tuh jelek ya, nggak jelek juga sih. Intinya dia
nggak cakep-cakep amatlah. Udah gitu, sukanya nyakitin elo doang.” Putri
ngomel-ngomel. “Apa lagi alasan yang ngebuat elo bertahan sama dia!?”
“Gue…”
Achi langsung menunduk. “Gue udah terlanjur sayang sama dia.”
Semua
yang mendengar itu langsung melengos dan geleng-geleng kepala. Heran dengan Achi
yang masih saja mau bertahan sengan mahluk satu itu. Padahal masih banyak cowok
ganteng dan baik hati di luar sana.
Jika
dibandingkan dengan yang lain, Widhan itu nggak ada apa-apanya. Itu sih menurut
teman-teman Achi. Tapi kalau nanyanya sama Achi, jawabannya pasti beda.
Widhan
akan terlihat sangat menakjubkan dan baik hati seperti ibu peri ketika Achi
menceritakan sesuai versinya.
*** ~Rinstriwi~ ***
Hari
ini Achi memutuskan untuk pulang sendiri. Tidak bersama dengan teman-temannya
juga tidak bersama Widhan. Pikirannya sedang kacau dan dia sangat ingin
sendiri.
Pening
di kepalanya tidak jua hilang sejak tadi pagi sehabis dia menangis
habis-habissan. Jalannya mulai sempoyongan. Apalagi Achi belum makan dari tadi
pagi karena nafsu makannya langsung hilang seketika saat teman-temannya malah
mendukungnya untuk memutuskan hubungannya dengan Widhan.
Sepertinya
tidak ada satu pun yang mendukung hubungannya dengan Widhan. Padahal seperti
apa pun cowok itu, Achi tetap tidak bisa melepaskannya begitu saja sebelum
Widhan yang memutuskan hubungan di antara mereka.
Alasannya
sangat simple. Achi hanya ingin dirinya tidak menyesal dengan keputusannya jika
dia memilih untuk memutuskan hubungannya dengan Widhan.
Matahari
sedang bersinar terik dan perut Achi terasa keroncongan sekarang. Beberapa
orang sedang bermain futsal di lapangan, berlari ke sana ke sini, membuat Achi
pusing saat ingin berjalan di pinggir lapangan.
“Hei
awas!”
Achi
menoleh dan hampir saja terjatuh saat dirasakan tubuhnya sudah berada di dalam
pelukan hangat seseorang. Matanya yang sudah tidak bisa melihat jelas siapa
orang itu, akhirnya terpejam menahan rasa pening di kepalanya.
Lalu
dirasakannya semua menjadi gelap seketika.
“ACHI
SEJAK KAPAN LO DEKET SAMA COWOK SEKEREN ITU!?”
Jojo
teriak histeris saat kemarin menemukan Achi sedang digendong ke UKS oleh
seseorang. Cewek itu duduk di sebelah Achi meminta jawaban Achi.
Kening
Achi mengernyit heran. Kepalanya masih terasa pusing karena kemarin pingsan dan
kurang makan.
“Maksud
lo apa sih?”
“Nggak
usah pura-pura bego deh!”
Achi
menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Sumpah deh ya, gue nggak ngerti.”
“Kemaren
elo kan pingsan tuh di lapangan. Dan elo digendong sama Kakak kelas yang gila
banget kerennya.”
“Siapa,
Jo? Gue aja nggak tau kalo dia itu gendong gue.” Tiba-tiba Achi memukul
keningnya kuat-kuat. “Mampus! Kalo Widhan sampe tau gue digendong cowok lain,
gue bisa matiiiii…”
“Bagus
lah, Chi. Elo nggak perlu repot-repot mutusin tu cowok. Dia bakalan mutusin lo,
dan kehidupan lo bakalan berubah menjadi indah.” Jojo tersenyum sambil memegang
pundak Achi pelan. “Cahaya kebahagiaan sudah terlihat di ujung mata, Chi!”
Mata
Achi menerawang. Bukan itu yang dia inginkan. Ada hal lain yang di hatinya yang
tidak bisa ia tolak. Dia benar-benar masih menyayangi Widhan. Dan hal itu tidak
bisa diganggu gugat oleh siapa pun dan dalam keadaan apa pun.
Raut
wajah Jojo berubah seketika saat melihat tatapan kosong Achi. “Jangan bilang
elo masih sayang banget sama Widhan!?”
“Gue
emang masih sayang sama…”
“Stop!”
Jojo langsung memotong. “Hey girl! He’s
not the only one you have. Find the another boy that will give you everything
without you asked! You know that your heart hurt because of the boy like Widhan.”
Jojo
memang benar sepenuhnya. Tapi dia memang tidak bisa melawan hatinya sekarang.
Setidaknya untuk sekarang. Semoga dia bisa terlepas dari sakit yang diderita
hampir setiap hari karena Widhan.
Atau
tidak, Widhan bisa berubah kembali seperti dulu. Bersikap manis padanya dan mau
menerima teman-temannya juga.
*** ~Rinstriwi~ ***
Achi
turun dari motor Widhan di tengah-tengah jalan raya. Matanya mengawasi Widhan
yang sedang mendengus kesal akibat motornya yang tiba-tiba mogok di jalan.
“Kayaknya
kita mesti naik kendaraan umum aja deh, Dhan. Sebentar lagi bel masuk.”
“Oh shit man!” rutuknya kesal. Lalu
ditatapnya Achi dengan rasa bersalah. “Maaf ya, Sayang. Motor ini emang suka
ngajak ribut. Kamu duluan ya, nanti aku nyusul. Aku takutnya kamu telat
gara-gara aku.”
Achi
tersenyum memaklumi. “Ya udah. Kamu buruan nyusul ya. Nanti kalo telat bisa
kena hukum lagi. “
Setelah
berbasa-basi sebelum pergi duluan, Achi mencari-cari kendaraan umum untuk
sampai ke sekolahannya. Jarak ke sekolahannya lumayan jauh, dan dia masih di
tengah-tengah jalan. Belum sampai di prapatan jalan.
Achi
merutuki motor sialan itu. Dia bisa telat kalau begini. Dan jam-jam segini,
selain angkutan jarang yang kosong, macetnya itu nggak bisa dihindari. Dan
kemungkinan telat juga tidak bisa dihindari olehnya.
“Hey girl! Do you want to take a ride with
me?”
Kontan
Achi menoleh saat ada orang yang menawarinya untuk menumpang. Keningnya
mengernyit saat mendapati seseorang berseragam sama dengannya, menatapnya
sambil tersenyum tipis.
Dan oh
gila! Senyumannya manis banget. Kedua alis tebal yang terangkat sebelah. Hidung
mancung seperti orang-orang Arab. Kulit kecoklatan, yang sumpah!, manis banget.
Kedua
mata Achi terbelalak lebar. Cowok ganteng itu ngajak bareng? Ngasih tumpangan
ke dia? It’s like an amazing dream!
“Hey!
Kok malah ngelamun? Kita masih punya banyak waktu untuk sampai ke sekolah. Dan
waktu itu nggak boleh kita sia-siakan. Atau nggak, kita berdua bakalan telat
dan kena hukum sama Bu Husna. Dia piket hari ini.”
Achi
langsung tersadar dari lamunannya. “Eng… boleh?”
Cowok
itu tertawa renyah. “Tentu aja boleh. Tadi gue kan nawarin elo.”
Dengan
kikuk, digaruk-garuknya kepala yang nggak gatal. Achi hanya bisa nyengir,
menunjukkan deretan giginya. Kemudian mengangguk pelan dan langsung menerima
uluran tangan cowok itu untuk naik ke atas motornya.
*** ~Rinstriwi~ ***
“Jadi…
nama lo Achi?”
Achi
mengangguk sambil tersenyum simpul.
Tadi
mereka hampir saja telat. Tapi tetap saja, ada sedikit ceramah dari Bu Husna
yang mereka dapatkan. Dan setelah itu, mereka janjian untuk bertemu lagi di
kantin saat istirahat pertama.
“Gue
Bagas. Dan gue rasa, gue udah membayar kesalahan gue sama lo, Achi.”
Kening
Achi mengernyit heran. “Maksudnya?”
Wajah
Bagas berubah bingung. “Loh? Elo nggak tau? Gue kan orang yang menyebaban elo
masuk UKS. Gue orang yang nimpuk lo pake bola.”
“Serius?”
Mata Achi membulat seperti bakso. “Gue malah nggak tau apa-apa tentang kejadian
itu. Pas gue bangun, gue ngerasa pusing. Gue kira gue pingsan karena belum
makan.”
“Oh
sori. Waktu itu, setelah gue gendong elo ke UKS, gue langsung masuk kelas.
Masalahnya, gue udah sering kena masalah sama guru belakangan ini. Dan gue
harus memperbaiki itu semua dengan bersikap manis saat belajar. Jadi gue
ninggalin elo di UKS sama anak-anak PMR.”
Achi
mengangguk-angguk sambil tersenyum tipis. “Oh, nggak apa-apa. Lagian kita
impas, kan? Elo udah nyelametin gue tadi.”
“Tapi
gue masih merasa bersalah sama lo. Pulang gue anter ya?”
Achi
membeku seketika. Keberadaan Bagas di sebelahnya membuatnya melupakan Widhan.
Apakah cowok itu telat atau tidak, dia tidak tahu. Dan dia harus pulang bersama
Widhan atau tidak dia bisa mati!
“Eng…”
Achi menggaruk-garuk kepalanya yang nggak gatal. “Nggak usah. Gue udah ada
barengan buat pulang. Lagian pertolongan elo tadi udah menebus kesalahan lo
kok.”
“Serius?”
Achi
mengangguk pelan. “Umm… udah mau bel. Kayaknya kita lanjutin lain waktu.”
Bagas
berdiri. “Oke. Nggak masalah.” Cowok itu menunjukkan senyum manisnya lagi. “Nice to meet you, nice girl.”
*** ~Rinstriwi~ ***
“Gue
bakalan tumpengan kalo sampe si Widhan berubah jadi baik dan mau ngenal kita!”
seru Putri dengan menggebu-gebu.
Yang
lainnya langsung ketawa ngakak. Sementara Achi memilih untuk cemberut saat
mendengar penuturan temannya itu.
“Dan
gue bakalan sujud syukur kalo ternyata elo jadian sama Bagas!” tegas Diah
dengan raut wajah serius.
Dita
menyikut lengan Achi pelan. “Kalo elo nggak mau sama Bagas. Buat gue aja deh,
Chi. Ganteng gitu, sayang kalo dianggurin. Ya, nggak kawan!?”
“YO’IIIII!”
Serempak menjawab Dita dengan persetujuan.
Achi
menghembuskan nafas beratnya. “Elo semua bener-bener nggak ada yang mau dukung
hubungan gue sama Widhan?”
Semuanya
langsung terdiam. Sampai-sampai hanya suara jangkrik yang terdengar. Mereka
tidak mungkin bilang iya, dan tidak mungkin bilang enggak. Masalahnya,
membicarakan seseorang yang masih satu lingkungan dengan lingkungan keberadaan
mereka itu membahayakan. Bisa-bisa orangnya tiba-tiba nongol di ambang pintu
sambil menunjukkan muka masam dan tangan membawa golok.
“Oh
ayolah! Widhan udah mau berubah kok. Dia nggak kasar lagi.”
“Di
mata lo dia emang berubah. Tapi nggak di mata semua orang. Kadang, seseorang
perlu melakukan perubahan, Chi. Agar mereka bisa bertahan. Elo nggak perlu
memertahankan yang sebenarnya nggak perlu elo pertahankan. Elo seharusnya bisa
melakukan perubahan.” Vidia menatap Achi lurus.
Semuanya
langsung terdiam. Kalimat Vidia itu jarang-jarang keluar dari bibirnya yang
mungil itu. Dan tiba-tiba saja Putri mengacaukan suasana keterkaguman itu.
“Perubahan?
Gerakan perubahan? Kayak Partai Gerindra aja lo! Hahahaha…”
*** ~Rinstriwi~ ***
“Gue
denger, elo deketin cewek gue.”
Kalimat
itu bukanlah sebuah pertanyaan yang harus dijawab. Kalimat itu adalah sebuah
pernyataan. Pernyataan yang membuat Bagas langsung menghentikan langkahnya.
“Maksud
lo?”
Bagas
melirik Widhan dengan kesal. Cowok di hadapannya itu tidak tahu apa-apa dan
sekarang membuat kesimpulan sendiri bahwa dirinya mendekati Achi.
“Nggak
usah pura-pura bego. Gue tau semua belang lo.”
“Ehm…”
Bagas berdeham pelan. “See, ternyata
bener kata orang. Elo emang orang yang sangat amat freak.”
“Bangsat!”
Widhan langsung mendekati Bagas dengan langkah panjang. Dengan sekali gerakan,
dipukulnya cowok itu tepat di bagian ginjalnya dan memukuli beberapa bagian
tubuh Bagas. Membuat cowok itu meringis kesakitan. “Lo tau apa tentang gue,
HAH!?”
Bagas
berusaha bangun dengan sekuat tenaga. Ujung bibirnya berdarah akibat pukulan
Widhan barusan. Cowok itu menahan ringisannya, dia tersenyum sinis.
“Gue
tau, di belakang Achi, elo jalan sama mantan lo. Namanya Serena. Cewek yang
paling digilai laki-laki di sekolah ini.” Bagas tersenyum meremehkan. “Dan
sekarang, dengan muka baja, elo bilang gue deketin pacar lo? Apa nggak salah?
Hmmm?”
Tangan
Widhan menggepal. Terdapat bara api di kedua bola matanya yang hitam pekat.
Ditariknya kemeja Bagas dengan kasar. Ditatapnya Bagas dari dekat tepat di
manik matanya.
“Gue
kasih tau sama lo ya, JANGAN PERNAH CAMPURIN URUSAN GUE!” ucapnya dengan penuh
penekanan di setiap kata. “Gue ngomong fakta. Elo deketin cewek gue dan ngajak
dia pulang bareng, kan!?”
Bagas
berdecak kesal. “Ck…ck…ck… elo tau nggak? Selama ini, kalo gue boleh jujur, gue
suka sama cewek lo. Suka banget.”
Kalimat
itu malah membuat Widhan terpancing. Dia semakin mengetatkan tarikkannya pada
kemeja Bagas. “Apa? Lo ngomong apa, HAH!?”
“Sekarang,
biarin dia milih. Dan kita lihat. Siapa yang akan dipilih Achi nanti.”
“Lo ngajak
duel sama gue, hmm?”
Bagas
menggeleng pelan. “Gue nggak suka kata itu. Gue lebih suka dengan kata, “perang
terbuka”. Lebih keren, kan!?” Salah satu alisnya terangkat ke atas. Senyum
simpul tercetak di wajahnya yang tampan.
*** ~Rinstriwi~ ***
“ACHI!
SUMPAH YA, ELO PAKE APAAN!? PELET!?”
Mendengar
teriakkan membahana itu, Achi langsung menutup kedua telinganya rapat-rapat.
Masalahnya, teriakkan itu mampu membuat telinganya langsung berdengung.
“Duh,
apaan sih, Jo?”
“Widhan,
Chi. Widhan!”
“Kenapa
dia?” tanyanya malas-malasan. “Berantem?”
Jojo
menggeleng. Pada saat itu juga, yang lainnya langsung ikut nimbrung dengan
nafas terengah-engah. Mereka dan Jojo baru saja melihat pertunjukan luar biasa
yang dilakukan oleh Widhan di tengah lapangan.
“Chi,
sumpah. Ternyata bener kata lo, Widhan berubah. BERUBAH!” Putri langsung
berseru heboh.
Kontan
Achi langsung bingung. Dia berkata Widhan berubah pada waktu itu agar
teman-temannya mau menerima Widhan. Tapi apa kata temannya sekarang? Widhan
berubah? Itu kayaknya impossible
banget deh.
“Lo
tau nggak? Dia, di tengah lapangan, bawa-bawa puluhan bunga mawar sambil masang
karton di dada dia dengan tulisan yang gedenya segede kingkong!” Ester ngoceh
sangking takjubnya.
“Duh,
gue nggak ngerti maksud kalian nih.” Achi mengernyitkan keningnya, bingung.
“Tulisan
di kartonnya itu, “You’re my only one
love, Achi.”. Gimana gue nggak syok!?” Dita langsung geleng-geleng.
Pada
saat itu juga Achi langsung berdiri dari kursinya. Kemudian lari secepat
mungkin ke arah lapangan. Matanya terbelalak lebar saat menemukan Widhan
benar-benar di sana. Dengan ribuan bunga mawar merah dan karton yang tergantung
di lehernya.
Mulutnya
menganga lebar. Namun sedetik kemudian, dia langsung berlari mendekati Widhan.
Masalahnya, lapangan mulai ramai dan dia nggak mau kejadian ini sampai ketahuan
guru. Bisa-bisa dia kena masalah.
“Widhan!
Kamu ngapain?” bisik Achi tertahan.
Widhan
tersenyum tipis. “Buktiin sama kamu kalau aku benar-benar cinta sama kamu.”
Mata
Achi langsung berkedip-kedip untuk membenarkan penglihatannya. Dia nggak salah
lihat kok. Apa dia mimpi ya? Udah berapa lama dia nunggu kata-kata itu keluar
dari mulut Widhan yang akhir-akhir ini tajam banget kayak silet.
“Kamu
nggak ngelindur?”
Cowok
itu menggeleng pelan. Lalu mengernyitkan keningnya. “Kalau pun aku ngelindur,
pasti nggak jauh tentang kamu. Kamu selalu berputar-putar di kepala aku.”
Achi
menghela nafas pelan. “Oke. Pembuktian cintanya sampai sini aja. Nggak perlu
lama-lama. Lagian aku percaya kok kalau kamu cinta sama aku.” Tangannya memegang
pelan tangan Widhan. “Sekarang, ayo pergi dari sini. Malu diliatin sama
anak-anak.”
Senyum
manis tercetak di wajah cowok itu. Dan tiba-tiba saja dengan satu kali gerakan
yang tak terbaca, dia memeluk Achi.
“CIYEEEEEE!!!”
Dari
kejauhan Bagas melihat itu dengan mata perih. Dia suka dengan Achi. Bahkan
sudah sampai tahap menyayanginya. Seperti apa pun dia bertingkah laku di depan
Achi, cewek itu tidak pernah menyadarinya. Di hadapan Achi ada Widhan. Ada
cowok yang membuat Achi tidak dapat berpaling ke mana-mana.
Kalau
bukan karena timpukan bola dan juga tumpangannya untuk Achi waktu itu, mungkin
Achi tidak akan pernah menyadari kehadirannya.
Dia
tahu, selama ini Achi tersiksa oleh sikap Widhan yang berubah. Dan Bagas tahu
jelas mengapa Widhan seperti itu. Cowok itu sepertinya bosan dengan Achi dan
dia ingin mencari cewek lain yang menarik perhatiannya.
Dilakukannya
semua ini demi Achi. Ketika Bagas menggertak Widhan, cowok itu sangat amat
marah. Dan Bagas yakin, dengan begitu, Widhan akan memertahankan cintanya pada
Achi. Dan Achi tidak perlu tersakiti lagi. Karena setelah ini, setelah Widhan
dapat berbuat baik kepada Achi lagi, dia akan menghilang dari pandangan Achi
untuk selamanya.
*** ~Rinstriwi~ ***
“Achi…”
Achi
menoleh dan mendapati wajah teman-temannya terlihat lesu. Keningnya langsung
mengerut. Ada apa dengan teman-temannya yang ceria ini?
“Ya,
kenapa?”
“Mentang-mentang
gue kuli, yang disuruh bawa gue.”
Di
saat yang lain datang dengan wajah lesu, Rindang datang dengan gerutuan sambil
membawa sebuah kerdus besar yang dibungkus kertas kado berwarna hijau. Rindang
langsung nyengir kuda saat teman-temannya melotot ke arahnya.
“Ada
apa nih?” tanya Achi bingung. “Itu apaan lagi?”
“Ini
buat elo, Chi.” Intan membuka pembicaraan. “Katanya dari seseorang penggemar
rahasia lo.”
“Chi,
maaf ya. Kita dari awal emang nggak sreg sama Widhan. Dan kita paling anti buat
deketin dia. Dan ketika kemaren Widhan bikin sesuatu yang nggak mungkin banget,
kita bener-bener syok. Sampai-sampai kita nggak sadar kalau misalnya ada
seseorang yang seharusnya kita tahan karena pengorbanan dia.”
Santy
menatap Achi lekat. Ucapannya itu mewakili yang lain juga. Mereka kaget saat
melihat pagi-pagi Rindang sedang berbicara dengan seseorang sambil menerima
kardus besar itu. Kardus yang ternyata berisi tentang hadiah-hadiah yang
seharusnya diberikan kepada Achi.
“Dibuka,
Chi. Ini semua dari Bagas.” Sumi mendorong kardus itu pelan.
Kedua
bola mata Achi terbelalak lebar. Ditatapnya teman-temannya, tapi tak ada satu
pun yang berani mengangkat suara lagi.
Perlahan,
dibukanya kardus itu. Dari bungkusnya saja Achi sudah tertarik. Warna hijau.
Apalagi saat Achi selesai membukanya. Matanya benar-benar tak dapat berkedip dan
tak dapat memercayai isinya.
Di
sana ada berbagai macam hadiah manis untuknya. Sekotak surat dengan warna
hijau. Boneka, bunga mawar yang bahkan hampir mengering, bandana lucu, kalung
cantik dan berbagai macam hadiah manis lainnya. Dan semuanya bernuansa hijau.
“Tadi
pagi dia cerita sama gue semuanya. Dan dia ngucapin selamat tinggal buat lo,
Chi.” Rindang tersenyum prihatin. “Katanya, dia mau pergi. Dan dia nggak janji
bisa balik lagi, karena dia sebenernya mau balik lagi, tapi nggak bisa.”
Air
bening menggantung di kedua bola mata Achi. Tiba-tiba hatinya terasa sesak.
Semua itu, semua yang dikatakan Rindang membuatnya tak dapat mengeluarkan
suara. Dia seperti kehilangan suaranya. Seperti kehilangan sesuatu di rongga
hatinya yang paling dalam.
“Hei!”
Rindang menoleh dengan bingung. Lalu menghampiri Bagas
yang memanggilnya tadi. “Ada apa?”
“Lo temennya Achi, kan?”
Cewek itu mengangguk. “Kenapa? Mau titip salam atau
mau titip bayaran utang?”
Bagas langsung berdecak pelan. “Serius nih. Gue mau
minta bantuan elo.” Tiba-tiba cowok itu memegangi bagian atas perutnya.
Wajahnya seperti kesakitan. “Gue mau nitip sesuatu sama lo.”
“Apa? Ganja ya? Wah… gue nggak main yang begituan,
Kak. Nggak berani.” Rindang langsung geleng-geleng kepala.
“Gue lagi serius ini. Elo mau lempar ke gunung
Everest!?”
Rindang langsung mengangkat kedua tangannya tanda
“damai”. “Ya deh, apaan?”
“Sebentar.” Cowok itu masuk ke dalam kelas. Lalu
keluar dengan kardus yang terbungkus dengan kertas kado berwarna hijau.
“Apaan nih? Bom?”
“Lo itu bawel banget ya. Gue lempar oncom juga nih.”
Bagas mendesis jengkel. Diberikannya kardus itu pada Rindang. “Bilang dari
penggemar rahasianya.”
Cewek itu melongo sebentar. Lalu mengernyitkan
keningnya. “Hey! Kenapa nggak bilang aja dari Kakak? Segini banyaknya cuma
bilang dari penggemar?”
Bagas tersenyum manis. “Gue pingin ngasih ini tulus.
Gue nggak mau dia tahu ini dari gue. Yang paling penting adalah isinya. Agar
isinya berkesan buat dia.”
Mengingat perjuangannya selama ini, Bagas tergelak
sendiri. Ya, demi cewek bernama Achi, dia rela melakukan apa saja. Demi
membuatnya sadar akan kehadirannya selama ini. Demi membuat Achi bahagia dengan
kehidupannya. Bagas akan melakukan apa pun demi Achi. Demi menghangatkan
hatinya yang membeku.
“Elo sakit ya, Kak?”
Bagas tersenyum lagi. “Pembengkakkan hati.”
Kedua bola mata Rindang langsung membelalak lebar.
“Gila! Elo sakit pembengkakkan hati dan dengan santainya elo senyum begitu?”
“Senyum terakhir kan nggak apa-apa.”
“Ngaco lo, Kak.” Rindang terdiam. Kali ini dia serius.
“Trus elo mau menghilang begitu aja dari Achi? Setelah ngasih ini semua? Gila
ya lo, Kak.”
“Cerewet lo. Udah, lo kasih ini sama Achi dan bilang
dati penggemarnya.”
Rindang langsung menggelengkan kepalanya dengan kuat.
“Buat ngasih ini sama Achi gue sih setuju, tapi kalo untuk nggak bilang dari
siapanya gue nggak setuju. Lagian penyakit lo itu bisa disembuhin kok. Jangan
ngomong yang enggak-enggaklah.”
Wajah cowok itu terlihat pucat, tapi dia masih
berusaha untuk tersenyum. “Gue udah capek. Eh siapa nama lo?”
“Rindang.”
“Nah… gue udah capek, Rin. Lo tau kan rasanya minum
obat setiap hari itu nggak enak? Kadang batuk darah dan gue harus bolak-balik
masuk rumah sakit. Gue lelah dan gue merasa gue udah nggak bisa bertahan lagi.
Gue milih buat nyerah.”
“Trus… sekarang lo mau ke mana? Bawa-bawa tas begitu.”
“Gue mau pergi ke rumah sakit buat yang terakhir
kalinya. Siapa tahu nyawa gue masih bisa selamat, atau kalau pun enggak bisa,
gue mau say goodbye sama suster di sana.”
“Sumpah! omongan lo itu ngaco semua. Berhenti
ngomongin yang enggak-enggak.” Rindang nggak berani bercanda lagi. “Trus? Achi gimana? Elo kan suka dia?”
Diceritakannya semua tentang rasa cintanya pada Achi
kepada Rindang. Diungkapkannya smeua isi hatinya. Setidaknya, sebelum dia pergi
untuk selamanya, ada orang yang menjadi saksi atas perjuangannya selama ini.
Walaupun Achi tidak pernah tahu tentang hal itu.
“Jadi… jangan bilang itu dari gue.”
*** ~Rinstriwi~ ***
Achi
berlari sekuat tenaga. Mencari kendaraan yang dapat mengantarkannya ke tempat
tujuannya secepat mungkin.
Setelah
mendapatkan kendaraan, dia segera menuju ke rumah sakit di mana Bagas dirawat.
Hatinya yang terdalam tidak ingin kehilangan Bagas. Dia ingin Bagas ada di
sampingnya. Dia ingin Bagas tidak meninggalkannya sendiri dan membuat luka di
hatinya.
Matanya
terbelalak lebar dan jantungnya seperti berhenti berdetak. Keadaan memang
sedang macet, tapi pemandangan di hadapannya membuatnya benar-benar ingin
loncat ke jurang sekarang juga.
Widhan
sedang menoleh ke arah cewek di belakangnya sambil tersenyum. Salah satu
tangannya menggenggam tangan cewek tersebut. Cewek yang diketahuinya bernama
Serena. Cewek yang notabenenya adalah MANTAN WIDHAN.
Hatinya
langsung panas seketika. Perjuangan apa yang dilakukan cowok bodoh seperti
Bagas? Seperti apa pun Bagas berusaha membuat Widhan terlihat baik di hadapan
Achi, tetap saja berujung yang sama. Cowok itu akan mengalihkan perhatiannya
kepada cewek lain.
Sampai
di tempat tujuan, Achi langsung berlari mencari kamar di mana Bagas dirawat.
Achi
berlari ke mana-mana, tapi Bagas tidak ditemukannya. Cowok itu tidak ada di
kamarnya, tidak pula di kamar mandi. Lalu ke mana cowok itu pergi? Kepalanya
berputar-putar. Pening langsung menyergap kepalanya. Rasanya dia ingin pingsan
sekarang juga.
Akhirnya
Achi menyerah. Setelah berlari-lari tak tahu arah tujuan dan suster di sana pun
tak tahu ke mana perginya Bagas, dia hanya bisa menundukkan kepalanya
dalam-dalam. Jalannya melambat dan tak terburu-buru lagi.
Rasa
sesak menyergap hatinya lagi. Rasanya dia tidak dapat bernafas lebih lama lagi.
Kenyataan membawanya kepada sebuah kenyataan yang pahit. Di mana ada orang yang
berjuang untuknya dan dia hanya melihatnya sekilas walau sempat takjub pada
orang itu. Dia terus melihat Widhan, bukan orang lain.
“Achi!”
Achi menoleh
dan mendapati Sarah berlari ke arahnya. Cewek itu sepertinya mengikuti Achi
dari tadi.
“Elo
salah arah. Kenapa malah berhenti di depan kamar mayat begini?”
Achi
mengernyitkan keningnya, bingung. “Maksud lo?”
“Tempatnya
di taman. Buruan! Elo mau bikin operasi Kak Bagas diundur, hmm?”
Achi
langsung lari ke arah taman dengan Sarah di belakangnya. Entah kenapa hatinya
terasa lega saat mengetahui bahwa cowok itu masih ada di sini.
Dan
matanya langsung terbelalak lebar saat mendapati Bagas sedang duduk di kursi
roda dengan dikelilingi teman-temannya. Semuanya memegang balon berbentuk hati.
Ada
seorang suster yang membantu Bagas berdiri dari kursi rodanya. Cowok itu
mengambil sebuah kotak kecil berwarna hijau, lalu mendekati Achi yang terpaku
dalam kebisuan.
Bagas
menatap Achi lekat. Kemudian membuka kotak itu perlahan. Dia tersenyum manis.
“Sebelum gue menjalani operasi, elo mau nggak ngasih jawaban atas pernyataan
gue?”
“Di
sini…” Bagas menunjuk dadanya. “Tempat rawan yang udah elo sentuh dengan
keajaiban. Dan sekarang mulai runtuh saat tahu elo memilih orang lain.” Bagas
terdiam sejenak. “Gue sebenernya…”
Achi
tidak dapat menahan isakkan tangisnya. Cowok di hadapannya ini mau operasi, dan
demi apa pun, dia masih di sini menunda operasinya demi mengungkapkan cinta
pada Achi.
Dipeluknya
Bagas sambil menangis. Membuat Bagas menghentikkan kalimatnya.
“Nggak
usah banyak ngomong. Gue juga suka sama lo. Tapi please, selametin diri lo
dulu. Baru berbuat yang aneh-aneh.”
“Jawaban
elo itu yang akan menyelamatkan gue dari penyakit gue.” Bagas tersenyum dan
membalas pelukan Achi dengan erat.
~END~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar