Yuhuuu... saya kembali lagi dengan FanFiction Jingga Untuk Matahari. Kalian-kalian penggemar JDS Series pasti pada kangen ya sama sosok Ari. Saya juga. Udah nunggu 3 tahun nih >,< semoga cepet terbit yah... Cerita ini mungkin sedikit mengobati kerinduan kalian pada Ari. Dan semoga kalian masih setia menunggu Ari ya. Oke, Happy reading all...
“Gimana kemaren?”
“Nggak gimana-gimana,” Tari mengeleng seraya meminum
es jeruk hingga menyisakan tiga perempat lagi di gelas.
“Yakin lo?”
“Dia nggak mau gue sama Ari,” ucapnya seraya
mengaduk-aduk es jeruk dengan pelan.
“Jadi sekarang lo milih siapa? Angga atau Kak Ari?”
Tari menghela nafas panjangnya, lalu berhenti
mengaduk-aduk. Ini nih, yang bikin mood
dia langsung berubah total. Kalau urusannya sudah milih-memilih, dia pasti
langsung jadi bad mood banget. Dia
nggak tahu harus milih siapa dan karena apa dia meilih orang itu. Dia bingung.
Masih bingung dengan perasaan yang ada di dalam hatinya. Ia dilemma.
“Pilih Kak Ari aja, Tar.” Nyoman datang tiba-tiba
dengan semangkok soto dan segelas es. Ia jatuhkan dirinya di sebelah Fio.
Fio menoleh kearah Nyoman. “Kenapa Kak Ari?”
keningnya langsung berkerut mendengar pilihan Nyoman.
“Nanti kan dia nggak perlu capek-capek bikin kelas
kita gempar dan mengancam seisi kelas,” Nyoman langsung nyengir kuda.
“Lo tuh ya, kita tuh lagi serius. Lo mau ngorbanin
Tari doang, gitu!? Kejem banget lo jadi temen,” cibir Fio. Lalu pandangannya
beralih pada Tari lagi, “Jadi, lo pilih siapa?” tanyanya dengan mimik wajah
yang serius.
“Gue nggak tau,” Tari menghembuskan helaan nafas
panjangnya. Ia memang lelah, lelah menghadapi ini. “Gue ngerasa nyaman sama
Angga,”
“Ya udah kalo gitu Kak Ari buat gue aja!” celetuk
Nyoman. “Jadi lo sama Angga,”
“NYOMAN!” seru Fio dan Tari serempak. Keduanya
menoleh kearah Nyoman sambil mencibir. Nyoman membalasnya hanya dengan cengiran
kuda.
“Jadi lo milih Angga?” Fio kembali serius.
Tari menggeleng lemah, “Nggak tau,” ucapnya. “Gue
juga nggak bisa jauh dari Kak Ari.” Tari menunduk, ia menatap lantai putih
kantin.
Kalau sudah seperti ini persoalan pasti sukar untuk
diatasi. Ini sudah menyangkut masalah hati dan juga perasaan, dan yang bisa
menjawab hanya Tari sendiri. Fio dan Nyoman saling menatap. Nggak tahu harus
menanggapinya dengan apa. Ini terlalu sulit untuk mereka. Karena mereka nggak
tahu apa yang ada di dalam hati Tari.
Mereka juga nggak tahu jelas, seberapa besar
perasaan yang ada di dalam hati Tari untuk Angga dan juga Ari.
Kali ini Tari yang menatap Fio lekat-lekat, “Menurut
lo, gue pilih siapa?” tanyanya pada Fio
“Dasar cewek nggak tau diri!”
Kontan semua orang yang berada di kantin langsung
menoleh kearah suara tersebut. Mereka langsung terpaku membisu melihat
seseorang yang kini tengah berada di ambang pintu. Cewek itu bertolak pinggang,
matanya menatap lurus-lurus kearah Tari. Pandangan yang, sumpah, sadis banget
itu menajam.
Dengan langkah panjang, ia hampiri Tari. Di
belakangnya anggota The Scissors telah mengekor di belakangnya. Mata Vero
menatap mata Tari lekat-lekat. Memerhatikannya dari atas sampai bawah. Lalu
berdecak kesal.
“Bangun!” perintahnya dengan bentakan.
Kontan, dengan sigap Tari langsung berdiri dari
tempat duduknya. Lalu menunduk dalam-dalam.
“Kebiasaan!” ucapnya sengit. “Lepas pernak-pernik
lo! Bikin silau mata aja!” perintahnya.
Tari diam mematung. Ia malah nggak mengerjakan apa
yang Vero perintahkan pada dirinya.
“Lo tuli!? Apa lo nggak punya tangan buat ngerjain
perintah gue!?” bentakkan ini menggelegar. Membuat semua orang yang berada di
dalam kantin kontan bersiap-siap kabur dari sana.
Tari tetap diam. Lidahnya kelu. Tubuhnya kaku.
Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Ia remas kesepuluh jarinya dengan
kuat. Sementara Fio dan Nyoman masih sama-sama tercengang akan kedatangan Vero
yang tiba-tiba itu.
“Libas aja, Ver!” ucap salah satu anggota The
Scissors.
Vero menoleh sebentar kearah anggotanya itu, lalu
tersenyum sinis. Ia alihkan pandangannya pada Tari yang kini sedang menunduk.
Wajahnya jelas pucat pasi. Dengan satu tangannya, ia tarik rambut Tari dengan
kuat-kuat.
“Ah…” Tari meringis kesakitan seraya memegangi
rambutnya yang di tarik paksa Vero.
“Denger nggak!?” bentaknya kasar.
Ia kuatkan lagi tarikannya. Ia dekatkan wajahnya
dengan wajah Tari, “Cewek kurang ajar!” desisnya tepat di wajah Tari. Lalu ia
tarik gelang-gelang oranye yang menghiasi pergelangan tangan Tari, kemudian
melemparnya ke lantai. Tangan kanannya masih menarik kuat rambut Tari yang
terkuncir kuda.
Lalu, dengan tangan kirinya, ia tarik paksa cicin
yang menghiasi jari-jarinya. Cincin yang berwarna oranye dengan senyum si
matahari. Kali ini ia melemparkannya ke meja kantin.
Air bening yang menggantung di kedua bola mata Tari
mulai berjatuhan, menetes di setiap lekuk wajahnya yang sudah pucat.
“STOP!!!”
Semua menoleh. Tercengang. Mulut mereka tenganga
lebar. Semua terdiam. Sesaat suasana menjadi lebih tegang dari pada tadi.
Dia ambang pintu itu, ada satu sosok yang di takuti
semua. Ada yang nggak nurut, berarti cari mati! Kalau nurut, baru deh tu anak
namanya anak yang baik. Bukan Ari namanya kalau dia nggak bisa membuat seluruh
sekolah ketakutan dengan keberadaan dirinya.
Vero rasa permainannya kali ini jelas takkan
berhasil. Padahal tadi semua anak buahnya telah mengecek seluruh sekolah dan
mengatakan bahwa Ari benar-benar nggak masuk. Dan kenyataan jelas berbeda
dengan kata-kata teman-temannya.
Ia lirik semua anggota The Scissors dengan tatapan
sinis, “Lo bilang nggak ada?”
“Tadi nggak ada, Ver.” Salah satu anggota The
Scissors menjawabnya dengan takut-takut. “Tadi anak-anak yang lain bahkan guru,
bilang dia nggak ada. Nggak masuk.”
Percuma saja dia ngomel-ngomel, nggak akan merubah
kenyataan. Lalu ia alihkan pandangannya pada cowok yang kini sedang berjalan
dengan langkah panjang mendekatinya. Matanya jelas sinis banget. Bahkan orang
yang punya gangguan mata pun tahu bahwa jenis tatapan ini mengancam jiwa.
Dengan kedua tangannya, ia lepas cekalan Vero dari
Tari. Lalu di serahkannya Tari pada teman-temannya yang lain. Kedua tangannya
kembali lagi, memegang erat pundak Vero dengan kasar. Di tatapnya tajam. Ari
mendekatkan wajahnya dengan wajah Vero. Membuat cewek yang naksir berat Ari itu
luluh seketika. Namun, ia sadarkan. It’s
not the time.
“Elo!?” desisnya tepat di depan wajah Vero.
Vero sedikit memundurkan tubuhnya, hingga menubruk
salah satu meja kantin. Sementara Ari tetap mengikuti gerakan Vero. Ikut
mundur.
“Gue udah bilang berapa kali sama lo!” sentaknya.
Vero menelan ludahnya. Berusaha untuk melawan. Di
tatapnya mata Ari dengan tatapan menantang. “GUE NGGAK SUKA LO DEKET-DEKET SAMA
DIA!” bentaknya seraya menunjuk kearah Tari.
“GUE JUGA NGGAK SUKA LO PEGANG-PEGANG DIA!” balas
Ari kasar. Matanya semakin menatap Vero tajam.
Kesabaran yang selama ini ia pertahankan sudah
luntur untuk cewek satu ini. Semua kesabarannya malah di permainkan cewek ini.
Kali ini ia takkan mungkin tinggal diam saja. Dia akan membongkar semuanya!
“Kartu As lo ada di gue,” ucap Ari sesantai mungkin.
Ia redakan amarahnya untuk sementara sebelum meledak lagi. “Jadi, lo mau gue
buka?”
Mata Vero kontan melebar. Ia lupa. Benar-benar lupa
kalau kartu As-nya jelas-jelas ada di tangan pentolan sekolahnya ini. Namun
semuanya sudah terlanjur. Malu-malu deh. Dia sudah terlanjur marah-marah dan
bikin huru-hara dimana-mana. Yang penting sekarang adalah melawan. Kalau Ari
benar-benar nekat mau membuka kartunya sekarang, akan ia buat hidup Tari lebih
tak tenang dari sebelumnya. Akan ia buat Tari lebih menderita.
“LO CUMA BISA NGANCEM!”
Sepertinya Vero memang berniat untuk melawannya.
Jadi, Ari memilih untuk menggunakan cara halus sebelum dia bertambah jadi
kasar.
“Gitu? Lo bisanya ngelawan satu orang dengan banyak
orang,”
“Enggak!” kilahnya tegas. Rahangnya mengatup kuat.
“Elo punya tato?” tanyanya dengan suara yang sengaja
di keraskan.
Kontan air keringat dingin muali keluar dari kening
Vero. Tangannya gemetar. Tubuhnya seketika menjadi patung. Ia diam membisu.
Hanya satu pernyaan, namun mencengangkan.
“Gue tau dari “lawan tading” lo!” seru Ari seraya
melirik Vero dengan tatapan sinisnya.
Kali ini Vero benar-benar tersentak. Tubuhnya
menengang, ia tak dapat berbuat apa-apa. Ari nekat. Dia pasti mau buka semuanya
di depan semua orang.
“Jangan,” lirihnya. Vero menunduk. Lemas ia rasakan
tubuhnya.
***
Pasca penyerahan diri Vero. Ari menegaskan pada
Vero, sampai dia berani mengganggu Tari, di pastikan hidupnya takkan pernah
tenag sedikitpun. Karena apa yang di lakukan Vero sama saja telah menyakiti
hati Ari. Masalah Vero selesai, namun satu masalah belum selesai.
Gontai, Tari langkahkan kakinya menuju halte bus. Hari
ini dia berniat untuk membeli film Korea yang baru bersama Fio. Senang sih,
hanya Tari ngantuk banget lantaran tadi malam nggak bisa tidur gara-gara di
ajak telfonan sama Ari sampai larut malam. Terpaksa ia ladenin, kalau enggak
dia ladenin bisa-bisa ngamuk tuh Ari.
Tari melirik jam berwarna oranye di pergelangan
tangannya. Sudah sepuluh menit ia menunggu Fio disini, namun Fio tak kunjung
datang. Lagi-lagi Tari menguap. Sumpah ngantuk banget! Kalau dia nggak inget
siapa Ari, pasti tadi malam Ari di bentak-bentak karena mengganggu aktifitas
tidurnya.
“Ngantuk, Tar?”
Tari menoleh, ia dapati sosok Angga sedang membuka
helm yang melekat di kepalanya. Cowok itu tersenyum manis. Memamerkan sederet
gigi putihnya.
Tari tertawa geli, “Eng… iya nih. Ngantuk banget,”
“Ikut gue yuk!” ajak Angga manis.
“Kemana?” kening Tari berkerut.
“Jalan-jalan,”
“Tapi gue udah ada janji sama Fio.”
“Siniin HP lo,” tangan Angga terulur.
Kening Tari berkerut, “Buat apa?” tanyanya.
“Telfon Fio,” jawab Angga seraya mengambil ponsel
yang sudah berada di tangan Tari. Lalu ia mengetikan sesuatu di ponsel Tari,
kemudian ia dekatkan ponsel itu ke telinganya.
“Halo, Fi… gue Angga…Tari gue pinjem dulu… ha!?
Apa?... besok gue beliin film Korea yang banyak… gue lagi baik nih… siapa yang
ngaish upeti?... gue cuma nawarin doang… lo dimana emang?... udah balik aja
sono… bye ya, Fi.”
Angga menyerahkan ponsel Tari. Lalu tersenyum geli.
“Kenapa?” alis Tari terangkat sebelah. Bingung.
“Si Fio bilang, dia takut kalo lo di apa-apain sama
gue. Padahal yang sering ngapa-ngapain lo itu kan si Ari, bukan gue. Kayaknya
tu anak amnesia,”
“Terus lo ngomong apa aja sama dia?”
“Pokoknya hari ini lo sama gue. Dia udah bilang
nggak apa-apa kok,” Angga mengulurkan tangan kanannya, membantu Tari untuk
menaiki motornya.
Mereka tak pergi jauh, Angga membawa Tari ke sebuah
taman yang disisi-sisinya banyak bertumbuhan beramacam-macam bunga dan juga
tanaman indah. Pemandangan di sekitarnya
begitu indah. Membuat Tari dapat menghirup nafas segar di sini. Lalu Tari
memandag Angga.
“Kenapa kesini?” kening Tari berkerut.
Angga membalasnya dengan seulas senyum manis,
“Karena gue pingin lo merasa nyaman sama gue,” ucap Angga memandang cewek yang
ada di hadapannya ini dengan lembut.
Tangan kanan Angga meraih tangan kiri Tari, ia menggandenganya
dengan genggaman halus. Tari menatap Angga dengan pandangan bertanya, namun
lagi-lagi cowok ini membalasnya dengan senyuman manis.
“Indah,” ucap Tari seraya mengikuti langkah Angga
yang menelusuri taman ini.
Tatapan Angga mengarah ke depan, ia memandang
kosong. Tak di jawabnya pendapat yang keluar dari mulut Tari. Ia terus saja
berjalan sambil menggandeng cewek ini. Sementara di sebelahnya, Tari memandang
Angga dengan tatapan bingung. Tak biasanya cowok ini seperti ini.
Setelah menelusuri jalan setapak di taman yang indah
itu, Angga mengajak Tari duduk di salah satu kursi taman yang berwarna putih.
Lagi-lagi tangan Angga bergerak, kali ini merangkul Tari yang berada di sebelah
kanannya.
Karena Angga diam, Taripun memilih untuk diam.
Karena ia tak pandai dalam membuka pembicaraan. Lagi pula, pendapatnya tadi
saja tak di gubris, bisa-bisa nanti Tari nyerocos mulu, tapi Angga malah
senyum-senyum nggak jelas. Mending kalau Angganya membalas dengan senyuman,
kalau dengan tatapan datar dan tak bereaksi apa-apa, kan gawat tuh. Bisa di
kira orang gila nanti.
Setelah lama terdiam dalam tatapan kosong yang
mengarah pada ruas jalan setapak tadi. Angga menoleh kearah Tari, di
pandanginya cewek ini dengan seksama. Cewek ini sebenarnya mirip dengan
seseorang itu, namun bedanya seseorang
yang dulu tampak lebih cantik. Lebih dari apa yang di miliki cewek yang berada
di sebelahnya. Namun, apa yang dimiliki Tari tak dimiliki seseorang itu di masa
lalu.
“Saat nanti gue jatuh, gue harap lo bisa bantu gue.
Karena sebenarnya hidup ini nggak pernah indah kalau lo nggak ada. Kalau lo
selalu menghilang. Kehidupan seakan mati. Seakan gue hidup di tengah para mayat
yanng kembali lagi hidup. Hidup di antara keegoisan semua orang, itu nggak enak
banget.”
Mendengar itu, Tari menoleh. Di tatapnya Angga
dengan seksama. Cowok itu terlalu sendiri. Kesedihan yang sangat luar biasa
terasa dan terlihat jelas di kedua bola matanya yang hitam pekat.
“Lo minta gue?”
Angga mengangguk, “Cuma lo dan karena elo,”
“Nggak ngerti,” Tari menggeleng kuat.
“Cuma lo yang bisa membuat hidup gue yang terasa
terancam jadi lebih menyenangkan dan karena elo gue masih bisa bertahan hidup
di antara seribu orang yang egois,”
“Elo kehilangan?” mata Tari menyipit.
Angga mengalihkan pandangannya. Ia menunduk dalam-dalam.
Ia tahan segala rasa perih yang kini berusaha merusak setiap anggota tubuhnya
yang mencoba untuk bertahan.
“Lo tau?”
“Gue liat dari kedua bola mata lo,” tangan Tari
menggerakkan wajah Angga agar Angga menatapnya. “Kayaknya dia penting banget buat
lo,” ucap Tari lirih.
“Tar, gue nggak bisa ngelarang lo untuk jauh dari
Ari. Tapi gue juga nggak bisa jauh dari lo. Gue mohon, jangan pernah tinggalin
gue,” kini tangan Angga meraih tangan Tari. Menggenggamnya kuat. Matanya
menatap Tari dalam. Menyiratkan sebuah kepedihan.
“Gue ngerti, Ga. Lagi pula, terlalu banyak rintangan
yang harus gue hadapi sebelum akhirnya gue menyerah pada takdir yang di tentuin
untuk gue,”
Angga hembuskan nafas panjangnya. Ia lepas
genggamannya yang menggenggam tangan Tari. Ia mungkin masih bisa bertahan
hingga akhirnya rahasia itu terkuak dan dia tak mungkin bisa apa-apa.
Ia ingin cewek ini memberikan segalanya. Seperti
misi awalnya. Membalas dengan satu imbalan yang sama. Sama seperti yang dulu.
Jika ada yang menangis, ia harap cewek ini yang
menangis. Jika ada luka, ia harap luka itu untuk Ari dan juga cewek ini. Jika
ada janji, ia harap janji itu akan di tepati. Untuk seseorang di masa lalunya.
Untuk dirinya, keluarganya dan untuk satu orang yang kini tlah tiada. Untuk orang
yang menangis di hadapannya. Lalu pergi menghilang dan tak pernah kembali lagi.
“Apa yang lo harapkan, sebenarnya akan terjadi. Tapi
lo malah merubahnya dengan satu alasan yang nggak masuk di akal. Apa yang lo
inginkan bisa aja terwujud, tapi sayang itu kehendak Tuhan. Nggak bisa kita
ingkarin dan juga kita hindari,”
Ucapan itu terdengar indah di telinga Tari. Dia
merasakan satu keindahan yang di ciptakan cowok ini. Cowok yang selama ini
berada di sampingnya. Meskipun tak selamanya.
***
Tubuh Tari terasa lemas, mungkin karena hari ini dia
belum makan dan sore-sore tadi malah di suruh untuk belanja sama mamanya. Bukan salah mamanya
sih, salah Tari juga. Salah siapa dari tadi pagi di sruuh makan, malah ngeloyor
pergi untuk mencari film-film Korea. Padahal mamanya sudah masak untu Tari.
Kakinya lemas, capek jalan dari rumahnya menuju luar
kompleks. Bisa di pastikan, kaki Tari membengkak dan biru-biru akibat kelamaan
jalan dan juga belum makan. Ia tahan rasa laparnya sebelum ia pingsan. kali ini
di perjalanan pulangnya, Tari merasa ada yang aneh. Seperti ada yang mengikuti
di belakangnya. Apakah itu setan? Atau binatang? Atau orang? Atau maling?
Yang jelas, kali ini keparnoannya muncul lagi. Bukan
karena Ata, tapi karena orang yang mengikuti Tari sejak tadi ini terus membuat
Tari sukses merasakan ketakutan yang mendalamnya. Ia coba tengok ke belakang,
namun nggak ada siapa-siapa disana.
Ia lirik jam yang berada di pergelangan tangannya.
Belum terlalu malam. Namun ini terlalu sepi. Jalan yang sepi ini, menciptakan
keheningan pekat yang mampu membuat Tari merasa sendiri. Apalagi jalan ini
terlalu gelap untuk dirinya. Ia cepatkan langkahnya menuju halte terdekat.
Suara-suara aneh mulai terdengar jelas di
telinganya. Ia semakin percapat langkahnya. Namun, suara langkah kaki orang
lain itu semakin cepat juga. Tari memejamkan matanya, lalu mencoba berlari
sekuat tenaga agar sampai di halte bus terdekat.
Nafas Tari terengah-engah. Kakinya mulai semakin
lemas. Ia merasa tak kuat lagi. Perutnya keroncongan. Lalu pening terasa di
kepalanya. Ia pengangi kepalanya kuat-kuat, masih sambil berlari. Lalu ia
merasa tubunya akan terhuyung jatuh.
“Tar?” terasaa suara indah itu mengalun di telinga
Tari. Tubuhnya seperti di sangga oleh kedua tangan kokoh.
Tari membuka matanya perlahan, ingin mengethaui
siapa orang yang sedari tadi mengikutinya dari belakang. Mengapa orang itu tahu
bahwa namanya adalah Tari? Apakah Tari mengenalnya.
Lama-lama, sebuah sinar terlihat di penglihatannya
yang kini memburuk akibat pening yang masih ia rasakan di kepalanya sampai
sekarang.
“KAK ARI???” serunya tertahan.
Wajahnya dengan wajah cowok itu terlalu dekat. Tak
menyisakan jarak. Dengan cepat, Tari menegakkan kembali tubuhnya. Lalu ia
pandang Ari.
“Kok Kak Ari ada disini?”
“Gue ngeliat lo tadi, terus gue ikutin aja.”
“Jadi yang ngikutin gue itu elo?” matanya kontan
melebar.
“Oh, itu enggak. Tadi sih, gue liat ada empat preman
yang wajahnya sangar-sangar ngikutin elo. Karena gue takut elo kenapa-kenapa,
jadi gue ikutin aja.”
“Serius lo!? Bohong lo sama gue!”
“Enggak. Gue nggak bohong,” Ari menggeleng cepat.
“Kalo nggak bohong. Preman-premannya pada kemana?”
alis Tari bertaut.
“Nggak tau,” jawab Ari dengan nada santainya.
Tari jadi bingung. Ia garuk-garuk kepalanya yang
nggak gatal sama sekali. “Kok nggak tau sih?” tanyanya bingung. Ni cowok
ternyata punya kelainan aneh juga.
“Kan emang nggak ada preman, jadi gue nggak tau.”
“Tuh kan, elo bohong! Lo mau nyari kesempatan dalam
kesempitan kan!? Biar gue bisa meluk elo terus bilang terima kasih bayak Kak
Ari. Ya kan!? Ngaku lo!?” jari telunjuk Tari mengarah pada Ari yang kini
memasang tampang lugunya. “Bilangnya nggak bohong lagi!”
“Gue kan nggak bohong sama lo, Tar. Gue tuh tadi
belom selesai ngomong. Gue emang nggak bohong, cuma ngibulin elo doang.”
“SAMA AJA, TAU! JUDULNYA NGGAK JUJUR!” seru Tari
kesal. Ni cowok di ajak serius malah bercanda. Di ajak kalem mintanya yang
kasar.
Ari tertawa geli melihat Tari ngedumel. Tangan Ari
menarik tangan Tari. Kontan Tari langsung menarik tangannya kembali dari tangan
Ari.
“Lo belom makan. Tadi pas gue nangkep lo mau jatoh,
perut lo bunyi. Jadi, ayo makan!” ucapnya dengan seulas senyum.
Tari terlihat kaget, tapi juga malu. Ketahuan suara
perut bunyi di depan orang yang seperti Ari!? Ya ampun, bener-bener memalukan
deh!
Tangan Ari menarik tangannya lagi. Di genggamamnya
jari-jemari yang manis itu. Lalu ia telusuri jalan yang berbeda menuju halte
bus. Sedetik kemudian Tari menyadari, kehangatan dan kelembutan yang berada di
dalam genggaman tangan Ari. Tak di buat-buat juga tak kasar seperti dulu.
Seperti tanpa paksaan juga tanpa ancaman. Membuat Tari menyadari perhatian yang
Ari berikan untuknya mmebuatnya menjadi lebih nyaman dengan cowok itu.
Tapi Tari nggak bisa meninggalkan Angga begitu saja.
Apalagi dengan alasan kalau ia memang benar-benar telah jatuh cinta dengan Ari.
Cowok itu menyimpan luka yang lebar dan memerihkan, dan Tari ingin mengobatinya
dengan cara apapun. Agar cowok itu tak lagi terluka dan Tari bisa terbebas dari
segalanya.
Sesampainya di sebuah halte, mata Tari menyipit
ketika di lihatnya ada sebuah mobil Everest hitam milik Ari berada di salah
satu warung di dekat halte tersebut. Lalu matanya memandang Ari yang kini juga
memandangnya.
“Kenapa mobilnya Kakak bisa disitu?”
“Kan gue ngikutin lo, tapi dari tempat yang belokan
sana. Pas lo tiba-tiba lari gitu, karena gue pikir lo di kejar sama orang, ya
udah gue ikutin lo.”
“Terus Kakak tau siapa yang ngikutin gue tadi?” Tari
mengernyitkan keningnya.
Ari membuka pintu mobil Everestnya dengan cepat,
lalu memersilhkan Tari untuk masuk ke dalamnya. Kemudian cowok itu masuk di
pintu lain.
“Tadi tuh ternyata yang ngikutin lo, kucing.”
Sontak Tari merasa malu. Cuma kucing dia sampai lari
ngibrit? Benar-benar memalukan! Tapi anehnya, tadi dia benar-benar mendengar
suara langkah kaki yang terus mengikutinya. Lalu di tatapnya Ari dari samping,
saat Ari mulai menjalankan Everestnya.
Wajah cowok itu terlihat tak terlihat seperti
biasanya. Cowok itu menyisakan beberapa lebam biru di bagian wajah yang tak
terlihat. Sepertinya cowok itu berantem tadi. Tapi kan yang ngiutin Tari itu
kucing? Masa iya Ari berantem sama kucing!? Kayaknya nggak mungkin banget.
Di sebuah cafe yang menurut Tari indahnya kelewatan.
Karena suasananya terlalu romantis untuk Ari dan Tari yang statusnya belum di
resmikan menjadi pacar. Atau... jangan-jangan Ari mau nembak Tari di tempat ini
lagi?
Tetap dengan mengandeng tangan Tari, Ari menelusuri
jalan setapak yang mengarah ke dalam cafe ini. Tari mengikutinya di belakang
dengan mata yang berbinar. Takjub akan keindahan yang di suguhkan cafe ini.
Beberapa lampu manis yang cantik menghiasi taman depan cafe ini. Juga ada kolam
ikan yang berada di sisi kanan cafe ini.
Arsitektur yang di rancang sedemikian rupa agar para
pelanggan tetap setia dan betah di cafe ini. Sepertinya orang yang merancangnya
sudah sangat ahli dan karyanya nggak mungkin di remehkan begitu saja. Apalagi
saat Tari masuk ke dalamnya, penuh dengan cahaya-cahaya remang dari lilin. Dan
Ari memilih tempat duduk di dekat jendela. Dimana lebih banyak lilin-lilin
kecil yang menghiasi tenpat itu.
“Mau makan apa?” tanya Ari setelah mereka duduk
bersebrangan.
“Hmmm... terserah Kakak aja deh,”
“Lo lagi laper kan? Nggak lagi mau menikmati masakan
kuliner?”
“Ya iyalah! Gue udah kelaperan setengah mati, tau!”
Tari mendengus kesal. Sekarang mendingan blak-blakan deh, daripada mati
kelaperan di depan Ari. Dan suara-suara perutnya berdemo minta makan, mending
dia ngomong aja kalau dia emang laper.
Ari tertawa
geli, cewek ini memang benar-benar manis. “Kalo gitu mau bebek bakar atau ayam
bakar? Biar lo kenyang,”
“Kan gue udah bilang, terserah lo aja. Yang penting
gue bisa makan nih sekarang,”
“Oke. Oke. Bebek bakar aja deh,”
Suasana kembali hening, ketika pelayan tadi pergi
dan tak datang kembali sejak sepuluh menit yang lalu. Membuat Tari dan Ari
berada di dalam pikirannya masing-masing dan tak mengeluarkan suara sedikitpun.
Beberapa tempat di sisi lain, sudah banyak yang mengisi. Sementara tepat di
dekat jendela, hanya ada Ari dan Tari disana.
Lalu datanglah pelayan yang sedari di tunggu-tunggu
Tari dan Ari. Karena perut Tari yang sudah berdemo meminta makan, dan Ari yang
nggak tahu harus ngomong apa memilih makan aja dari pada terus-terusan diam,
seperti lagi berantem.
Ketika suasana kembali hening, saat keduanya selesai
menyelesaikan makanan mereka. Tangan Tari terus mengaduk jus yang di pesannya
tadi. Sementara Ari sibuk memandang keluar jendela. Mata mereka bertemu saat
sama-sama menoleh.
Tangan Ari bergerak menyetuh tangan Tari, lembut di
rasakan tangan Tari. Tari memandang cowok yang kini menatapnya lembut.
“Jangan pergi,”
Tari memandang Ari dengan pandangan tanya, namun
cowok itu tetap saja bungkam dengan pertanyaan Tari. Cowok ini tak menjawabnya.
Senyum pahit terpampang jelas di wajah Ari,
“Ternyata apa yang gue pikirkan tentang dia, salah, Tar. Dia nggak sebaik itu.
Dia udah benci sama gue. Jadi, gue minta elo jangan pergi. Karena lo nggak bisa
melawannya sendiri. Kayaknya luka di hatinya belum cukup terobati,”
Lalu Ari berdiri, menarik Tari, membawanya pergi
dari tempat itu setelah Ari meninggalkan beberapa lembar uang.
Ari mengantarkan Tari sampai ke rumahnya, dengan
belanjaan yang tadi di simpannya di Everestnya. Tari berdiri memandang Ari yang
kini menatap ruas jalan dengan pandangan kosong. Lalu tiba-tiba tangan Ari
menarik kepala Tari. Lalu satu buah cium mendarat di kening Tari. Lama. Hingga
memunculkan rona merah di wajah Tari.
“Jangan pergi,” ucapnya seraya balik badan dan
meninggalkan Tari dalam kebisuan nyata.